Meredup

1.1K 236 5
                                    

Tampaknya siang semakin terik. Tak seperti biasannya Andin menunggu se lama ini. Bahkan makan siang hampir lewat.
Jam setengah 2 siang. Tapi, Aldebaran yang sejak tadi dia tunggu tak kunjung sampai.

"Tumben banget sih? Gak kayak biasanya?" Gumamnya sendiri.

Entah sudah berapa kali laki-laki itu dia telefon. Tapi, tetap sama. Tidak ada satupun panggilannya di jawab.
Bahkan beberapa pesan sudah dia kirim. Tapi, tanda centang tak kunjung berganti warna biru.

Andin gelisah. Dia tidak tenang dalam diamnya.

"Loh Ndin, masih di sini?" Tanya Pak Surya yang baru saja nongol dari samping rumah.

"Iya pa. Mas Al gak dateng-dateng." Jawabnya.

"Sudah di telefon?"

Andin mengangguk lalu menunjukkan ponselnya, "udah berkali-kali pa. Tapi gak di angkat."

Pak Surya menghela nafas, lalu berjalan mendekati putrinya itu. "Ya mungkin Al sibuk. Di tungguin di dalam aja. Gak gerah apa di sini dari tadi."

Pasrah, Andin pasrah menunggu Al sampai laki-laki itu datang. Andin mengangguk, menerima tawaran papanya. Lalu dengan di bantu papanya, mereka berjalan masuk.

"TIN!"

Suara kelakson mobil itu, menghentika pergerakan mereka berdua. Dua anak dan ayah itu menoleh bersamaan, diiringi nafas lega dari mulut Andin, ketika mobil yang sangat dia kenali berhenti di depan rumahnya.

"Panjang umur. Ya udah papa ke dalam dulu." Ucap pak Surya.
Tanpa Andin pamit sekalipun, pak Surya tau kemana anaknya akan pergi. Makanya dirinya memilih beranjak dan membiarkan keduanya pergi.

Andin mengangguk seiring Pak Surya yang masuk ke dalam rumah.

Aldebaran. Laki-laki itu turun dari mobilnya. Wajah lelah tampak tercetak jelas di wajahnya.
"Maaf nunggunya lama ya?" Ucapnya ketika sampai di depan Andin.

Andin yang menyadari perbedaan raut wajah Al mendadak mengernyit, lalu menahan tangan Al yang baru saja akan berpindah ke belakangnya.
"Kenapa?" Tanyanya curiga.

Tidak seperti biasanya wajah tampan itu terlihat kusut. Dia sangat mengenali Aldebaran. Laki-laki itu selalu tampil rapi dalam keadaan lelah dari kantor sekalipun.

"Aku gak pa pa." Jawab Al dengan mengubah mimik wajahnya seakan baik-baik saja.

Percuma Al bohong. Toh nanti Andin akan tau sendiri apa yang sedang melanda pikirannya.
Seharusnya tadi jam 12 siang dia sudah sampai di sini. Tapi, nyatanya hingga jam segini dirinya baru saja sampai.
Ada hal yang lebih urgen untuk dia urus. Sampai untuk mengabari Andin pun dia tak sempat.

"Mas? Kamu beneran gak pa pa? Jangan bohong." Tegur Andin, karena Al tak kunjung membawanya pergi. Malah melamun.

Aldebaran mengerjapkan matanya, sedikit tersentak. Lalu mulai mendorong kursi roda Andin.
"Aku gak pa pa." Ucapnya.

Setelah obrolan singkat itu, Al benar-benar membawa Andin pergi. Pergi menuju rumahnya.

Sepuluh menit dengan keheningan. Itulah yang di alami Andin di dalam mobil yang tengah melaju sedang. Ini benar-benar aneh. Tidak seperti biasanya Al menjadi pendiam.
Memang sifatnya dingin dan tak banyak bicara. Tapi, itu berlaku untuk orang lain. Untuknya jelas tidak seperti ini. Justru dirinya merasa asing dengan laki-laki yang tengah menyetirinya ini.

Andin memutar otaknya, mencari bahan pembicaraan yang seru. Hingga kabar gembira darinya terlintas dalam benaknya.

"Mas, aku punya kabar baik. Aku seneng banget. Ini kaki aku udah bisa sedikit di gerakin tau." Ujar Andin berniat memecahkan keheningan.

Sincerity Of Love (END)✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora