Rumah Sakit

1.8K 210 6
                                    

Al tersentak kaget dengan aksi spontan Andin. Tangannya hanya tergantung sama sekali tidak membalas pelukan itu. Dia bingung sikap apa yang harus dia lakukan ketika dalam posisi seperti ini. Al masih terdiam tanpa berniat membalas pelukan itu.

Tangis Andin semakin tergugu. Pelukannya semakin erat. Hati Al merasa teriris ketika tangis pilu itu menggema di tengah sepinya jalanan ini.  Dengan ragu-ragu, Al membalas pelukan itu. Lalu mengelus punggung gadis di pelukannya perlahan.

Cukup lama Andin berada dalam pelukan Al. Hingga dia melepas rengkuhannya sendiri, ketika sadar dengan aksi spontannya itu. “Maaf.” Ucapnya lirih.

Al masih saja terdiam. Kemudian dia berdiri dan melepas jasnya yang sedikit lusuh. Kemudian memberikannya pada Andin. “Pakai!” ucapnya datar.

Andin menatap jas yang berada di depannya, lalu menggeleng pelan. “Tidak usah pak.  Terima kasih.” Tolaknya.

“Saya bilang pakai!" Perintah Al.

" Saya tidak mau di kira ngapa-ngapain kamu dengan bajumu yang robek di mana-mana itu.” Ucap Al dengan mengalihkan pandangannya, menghindari pandangan yang tidak semestinya dia lihat.

Andin menelisik ke seluruh bagian tubuhnya. Benar saja, bajunya banyak yang terkoyak. Menampakkan kulit putihnya. Dengan ragu dia berdiri dan mengambil jas tersebut kemudian memakainya.

“Arkh!” Rintihnya ketika kesusahan memasukkan  lengan jas itu pada lengan kanannya. Dia merasa tangan kanannya ini terkilir akibat jatuh dari motor preman tadi.

Al melirik Andin yang masih berusaha memakai jasnya dengan wajah yang terlihat menahan sakit. Dia mendengus kesal menatap gadis yang berdiri di sampingnya itu dengan keribetan yang gadis itu lakukan sendiri. Al merebut jas itu dan membantu memakaikannya.

Andin menatap wajah datar laki-laki di depannya. Andin tidak mau munafik mengatakan kalau laki-laki ini tidak tampan. Sangan tampan malahan, meski berada di temaramnya lampu. Mata itu memang selalu tajam dan dingin. Tapi Andin menangkap di dalam bola matanya menghadirkan kehangatan.

 “Terima kasih pak.” Ucap Andin.

“Saya antar ke rumah sakit.” Tawar Al.

“Gak usah pak terima kasih. Saya baik-baik saja. Saya langsung pulang saja.” Tolak Andin.

Andin melangkahkan kaki kananya. Rasanya sakit menjalar ketika pergelangan kakinya menopang tubuhnya, dan tubuhnya pun oleng ke depan.

Dengan gerakan refleksnya Al menopang tubuh yang hampir saja nyungsep kedepan itu. Kini posisi Andin sudah berada di dekapan Al. Tatapan mereka berdua bertautan. Sama-sama menelisik lama di setiap sudut bola mata bak kelereng itu.

Lima detik kemudian, Al memutuskan tatapannya. "Dasar keras kepala." Ucapnya seraya mengangkat Andin dalam gendongannya.

"Eh pak. Turunin saya." Elak Andin.

"Diam!"

Andin menciut. Tidak lagi mau membantah. Ketika mata itu menatapnya tajam.
Al pun membopong tubuh Andin dengan hati-hati menuju mobilnya.

“Setiap ketemu selalu merepotkan!” Kesal Al.

Andin mengalungkan lengannya di leher Al. Mencari pegangan supaya dia tidak jatuh. Aroma parfum menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Meski kemeja itu terlihat lepek di basahi keringat, tapi dia sama sekali tidak mencium bau kecut dari laki-laki yang berstatus bosnya itu. Aroma maskulin itu membuat Andin tenang. Salah satu aroma yang entah kenapa mulai saat ini menjadi aroma yang dia sukai.

Al dengan susah payah membuka pintu samping kiri mobilnya. Lalu menurunkan Andin di kursi penumpang depan. Kemudian menutup pelan pintu itu. Al masuk dari pintu samping kanan tepat di kursi kemudi.

Sincerity Of Love (END)✔Where stories live. Discover now