Jangan Pergi

2.1K 265 29
                                    

Satu Minggu kemudian.

Setelah peristiwa di makan sore itu, semua berjalan normal. Tiap pagi Al berangkat ngantor, pulang sore terkadang juga lembur sampai malam. Begitu pun dengan kehidupan Andin. Hanya saja kadang Aldebaran sedikit mengalami kegalauan. Wajar karena dia belum sepenuhnya ikhlas melepas Reyna.

Ini masih pagi. Tapi, Aldebaran terlihat sibuk di ruang kerjanya. Bahkan sejak tadi, Andin juga tidak kalah sibuk bolak-balik ruang Aldebaran untuk memenuhi perintah bosnya itu.

“Ndin, tunggu!” cegah Al ketika Andin akan membuka pintu ruang kerjanya.

“Iya pak. Ada lagi yang bisa saya kerjakan lagi?” tanyanya.

“Siap-siap. Satu jam lagi, kita berangkat ke Bogor. Ada meeting yang tidak bisa saya wakilkan. Kamu temani saya.” Perintah Al.

“Tumben saya. Biasanya sama pak Rendy?” tanya Andin heran.

“Rendy hari ini saya tugaskan buat hendel semua pekerjaan saya di kantor. Ada beberapa meeting dengan direksi yang tidak bisa di tunda dan harus selesai hari ini.” Jawab Al.

Andin mengangguk. “Baik. Kalau begitu saya siapkan semuanya pak.” Ucap Andin kemudian undur diri.

5 jam berlalu. Aldebaran dan Andin baru saja keluar dari salah satu hotel bintang lima. Tempat di mana pertemuannya dengan salah satu pengusaha pemilik perusahaan kosmetik ternama di Indonesia. Aldebaran yang baru saja merintis bisnis di bidang kosmetik mendapatkan tawaran kolaborasi dengan perusahaan tersebut. Kesempatan emas itu tidak dia sia-siakan. Hingga meeting ke tempat sejauh ini pun dia lakukan.  

“Langsung pulang ke Jakarta?” tanya Andin ketika mereka sudah berada di dalam mobil.

Aldebaran yang baru saja memasang seatbelt menoleh ke samping. “Iya lah. Mau ke mana lagi? Mau nginep di sini berdua?” tanya Al.

“Dih otaknya!” sahut Andin sambil memberi tatapan tajam.

Aldebaran memberikan tatapan Aneh pada Andin. Memang ada yang salah dengan ucapannya.

“Emang ada yang salah. Ini kan hotel. Tempat orang menginap kan?”

“Tau ah.” Balas Andin memalingkan wajahnya ke arah lain.

Aldebaran mengedikan bahunya. Memilih tidak lagi menanggapi Andin, dan mulai menjalankan mobilnya. Tapi, beberapa saat kemudian dirinya tertawa. Ketika baru paham ke mana arah pikiran Andin.

Andin yang sejak tadi memilih diam, kini menatap Al aneh. Melihat laki-laki itu tertawa sendiri membuatnya mengernyit heran.

“Kenapa ih. Ketawanya begitu?” tanya Andin.

“Kamu tadi mikir apa hayo?” tanya Al dengan tatapan tidak biasa.

“Apa? Gak mikir apa-apa.” Jawab Andin mulai panik.

“Kamu kira saya mau....”

“Udah stop. Fokus aja nyetir. Sela Andin memotong ucapan Al yang mulai ngawur.

Tawa Aldebaran menggelegar, sedangkan Andin cemberut kesal.

“Ya kalau nginep saya pesan kamar sendiri, kamu saya pesankan kamar sendiri lah Ndin. Kalau mau satu kamar boleh, kalau kamu mau.” Goda Al sambil menaik turunkan alisnya.

“BGHUG!” tas itu mendarat keras pada lengan Aldebaran membuat Al meringis kesakitan.

“Sakit tau!” Rintihnya sambil mengelus lengannya yang nyeri.

“Biarin. Kalu bisa malah mau tak lempar ke mulut kamu. Minta di kuncir pakek karet itu mulut!” ketus Andin.

“Ya kan cuma bercanda. Yang ada nanti bisa di gorok papa kamu kalau beneran.” Ucap Aldebaran masih mengelus lengannya yang sakit.

Sincerity Of Love (END)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang