Titik Awal

1.7K 266 30
                                    

"Maukah kamu menjadi bagian cahaya kehidupan saya Ndin?"

Suasana menjadi hening, setelah Al mengucapkan kalimat itu. Hanya ada lagu yang sejak tadi sudah mengalun merdu. Andin masih belum percaya dengan apa yang terjadi di hadapannya. Bahkan tidak terlintas sedikit pun dalam pikirannya, bahwa dirinya lah yang sejak kemarin di maksud laki-laki yang tengah bersimpuh di hadapannya ini.

Atau dirinya yang tidak peka dengan tingkah Al sejak kemarin. Yang tiba-tiba mengajaknya membeli cincin. Lalu pemaksaan tadi sebelum kesini. Dia seharusnya sadar, siapa dirinya. Hanya seorang karyawan. Lalu polos sekali menerima ajakan Al dengan alasan bertemu calon istrinya. Kenapa dia tidak berpikir, hal sesakral ini justru dirinya yang di pilih untuk menemani laki-laki ini. Seharusnya orang-orang terdekatnya, mamanya misalkan.

Andin memejamkan matanya ketika tersadar dengan sesuatu. Dres purih yang dipakainya ini dengan jas yang di pakai Al terlihat selaras. Kenapa dirinya tidak memperhatikan hal yang terlihat mencolok ini.

"Ndin?" panggil Al. Ketika perempuan itu tidak kunjung membuka suaranya.

Andin tersadar dari lamunannya. Lalu tangannya terulur memegang bahu laki-laki itu.

"Berdiri pak!" pintanya.

Al menggeleng pelan. Sama sekali tidak beranjak dari posisinya. "Kamu belum memberikan jawaban pada saya."

Dengan pelan, Andin menuntun Al untuk berdiri. Dan kali ini Al mengikuti apa kemauan Andin.

Mata Andin beralih pada kotak yang berada di tangan Al. Lalu dia menutupnya pelan. Meraih kotak itu, kemudian meraih telapak tangan Al dan menaruh benda tersebut di sana.

"Saya tahu pak Al melakukan ini terpaksa." Ucap Andin.

Andin tidak lupa, dengan kejadian dini hari di rumah sakit waktu itu. Bahkan dirinya masih ingat betul. Ketika tiba-tiba Al memintanya mencarikan calon istri. Sesuatu yang sebenarnya menjadi tanda tanya besar dalam benak Andin.

Andin menghembuskan nafasnya pelan. Lalu menggenggam tangan Al yang terdapat kotak cincin tadi. "Kemarin saya pernah bilang. Menikah itu bukan sesuatu untuk di permainkan."

Mata Andin beralih menatap kedua mata hitam Al. "Pernikahan itu sakral. Sebuah komitmen untuk seumur hidup."

Seketika Aldebaran tak mampu mengeluarkan kata-katanya lagi. Dia kira, Andin perempuan yang akan mudah dia dapatkan. Tapi, angannya bertolak belakang dengan kenyataan yang sudah terjadi. Andin bukan perempuan lemah yang akan mudah luluh dengan harta, tahta, dan jabatan. Dirinya salah besar di sini.

Andin melepas genggamannya dan memutus kontak matanya. Dirinya bersandar di pembatas rooftop dan memandang lampu-lampu nan indah itu.

"Entah apa yang membuat Pak Al terpaksa melakukan ini. Saya juga tidak tahu pak Al tulus atau ada tujuan di baliknya."

Al menatap perempuan yang memunggunginya itu. Dengan masih menyimak suara yang beradu dengan angin itu. Al tidak menyangka Andin mencium kejanggalan darinya. Hingga perempuan itu menyangka dirinya ada maksud lain.

Andin tertawa pelan. "Ya aneh saja bagi saya. Saya itu siapa sih? Cuman karyawan. Bahkan di banding mbak Michelle pun saya tidak ada apa-apanya. Seakan pak Al membanting setir perihal kriteria." Ucap Andin merendah.

Al menggeleng, menyangkal ucapan Andin. Dia sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu. Tapi, percuma dia menggeleng. Andin juga tidak bisa melihatnya.

"Tapi, kenyataannya saya ingin lebih jauh mengenal kamu." Ucap Al mulai meyakinkan.

Andin menghembuskan nafasnya. Lalu mengeratkan pelukannya pada tubuhnya sendiri, ketika hawa dingin mulai datang.

Sincerity Of Love (END)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang