Lucunya, permintaan Bu Ratna membuat hatinya resah. Pasalnya, semua yang dilakukan Emilia di sekolah merupakan bentuk protes terhadap ibunya—yang tidak memberinya pilihan selain memilih menjalani hidup sebagai siswi kelas IPA.

Padahal sebelumnya Emilia sudah menjelaskan dengan baik bahwa dia tidak tertarik dengan pelajaran IPA. Sama sekali tidak tertarik. Dia lebih tertarik dan ingin mempelajari, serta mendalami pelajaran Bahasa, Seni, dan Sastra. Namun sayang, keinginannya diabaikan.

Sejak itu, Emilia membenci kelas IPA, dan melampiaskannya dengan berperilaku buruk di sekolah. Namun entah kenapa, Emilia takut orang tuanya dipanggil ke sekolah. Bukankah seharusnya dia bahagia? Karena siapa tahu Bu Ratna bisa membantunya membujuk ibunya agar mengizinkannya masuk ke kelas yang diinginkannya.

Baru saja Emilia hendak menjawab pertanyaan Bu Ratna, ponsel di dalam saku seragamnya bergetar, membuatnya tersentak.

"Sebentar Bu," ucap Emilia, seraya merogoh ponselnya.

Ada pesan dari Mita, gadis berwajah mungil yang pertama kali menyapa Emilia saat pertama kali masuk kelas IPA, nama lengkapnya Mita Frizaninsky. Mereka duduk bersebelahan di kelas dan sekarang mereka berteman baik karena gadis itu selalu mengijinkan Emilia menyontek.

Jangan lama-lama lho. Kelamaan gue dan Bella nunggu, ntar kita keburu lumutan.

Emilia menghela nafas, ia kembali menatap Bu Ratna.

"Maaf Bu, mungkin 15 menit lagi beliau datang," tutur Emilia tersenyum berat, lalu segera pamit keluar dari ruangan itu dengan jantung berdebar.

Emilia berbohong!

Orang yang datang bukanlah Papa atau Mamanya, melainkan Gibran. Gibran Mahesa, Kakak satu-satunya, kesayangan Mamanya. Penuh drama ekstra membujuk Gibran-supaya dia mau mewakili orang tuanya saat sehari sebelumnya.

"Ngapain aja sih di sekolah? Bayar SPP kamu itu pake duit tahu, bukannya pake daun!" celoteh Gibran.

Cowok itu mengenakan kaos oblong tanpa lengan berwarna biru, dengan celana pendek santai-selutut, berwarna putih, sekarang sedang berdiri memandang Emilia agak sengit sambil berkacak pinggang.

"Iya tau pake duit. Tapi ya gitu deh, khilafff," jawab Emilia seenaknya sambil mendekap bantal ke tubuhnya dengan posisi duduk dan kaki ke bawah menyentuh lantai, di atas ranjang Gibran.

Emilia memandang Abangnya yang bertubuh 175 cm itu dengan wajah memelas.

"Khilaf.. khilaf.." gerutu Gibran kesal.

"Abang gantiin Mama yaaa, please.." lanjut Emilia tak peduli. "Cuma Abang loh, yang bisa kuandalin."

Sampai satu telapak tangan Gibran mendarat ke jidat Emilia saat gadis itu berkata, "Tapi jangan kasih tahu Mama, ya."

PLAK!

"Argh!" rintih Emilia, meraba keningnya dengan mata melotot, bukan karena rasa sakit di jidatnya, tetapi karena dia terkejut.

"Hadiah dari Abang. Udah? Sana keluar!"

"Tapi mau ya, gantiin Mama.. Pleaseee." Emilia semakin memelas, penuh harap dengan jawaban Gibran.

"Iya, iya. Sana keluar..."

Sekarang, cewek bertubuh tinggi 167 cm dengan berat badan 50 kg itu, mempercepat langkahnya. Emilia tidak ingin membuat Mita dan Bella menunggu terlalu lama di pemberhentian bus.

0o-dw-o0

Gibran memenuhi janjinya beberapa menit setelah Emilia keluar dari ruang guru. Dia muncul dengan sepeda motor dan melaju ke halaman sekolah ke tempat parkir. Cowok berbaju merah marun itu datang ke sekolah adiknya bersama Rado Rajevan, sahabatnya di kampus.

DELUVIE [Tidak Update untuk Sementara]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora