Bab 10

380 44 5
                                    

10. Rado Rajevan

TIGA hari berlalu. Secara tidak langsung, Gibran mengetahui alasan di balik nilai pelajaran Emilia yang turun drastis di kelasnya. Di hati kecilnya, Gibran ingin melihat Emilia kembali seperti dulu—belajar dengan semangat, dengan kemauannya sendiri, dan lulus dengan nilai yang memuaskan.

Tetapi melihat keadaan Emilia saat ini, membuat hatinya ragu untuk membujuk adik perempuannya yang satu-satunya itu. Tampak dari raut wajah Emilia—rasa kesal dengan ucapan Mama tiga hari yang sudah lewat tersebut, masih duduk di hatinya.

Terlintas di benaknya untuk bercerita kepada Rado. Berharap sohibnya itu bisa memberinya solusi apa yang harus dilakukannya sebagai Kakak. Tanpa pikir panjang, Gibran mendatangi Rado ke rumahnya. Dia menjulurkan kepalanya dari jendela depan mobil berwarna merah, yang diparkir di depan rumah Rado. Rado muncul dari balik pintu rumahnya, ia terperangah ketika mengetahui Gibran datang membawa mobil saat menemuinya.

"Mobil baru?"

"Nggak lah.. Gue cuma pinjam. Ini punya Nyokap," kata Gibran. "Buruan naik, kita ke kampus naik ini."

Rado mengatup mulut dan menaikan alismatanya sesaat, "Baiklah," katanya terkesan, kakinya bergerak masuk ke dalam mobil.

Gibran melesatkan mobilnya. Dia menaikkan kaca jendela mobil, mengecilkan volume musik yang sedang terputar, kemudian mulai bercerita tentang Emilia, tentang semua yang dilakukan Emilia selama setahun ini.

Dan Rado terkejut ketiga Gibran memberitahu peringkat kelas yang didapat Emilia.

"Lo serius—Mili dapat peringkat tiga terakhir?"

Gibran mengangguk, "Serius gue. Dan Nyokap marah besar waktu itu."

"Tapi dia naik kelas kan?"

"Ya naik kelas sih.." kata Gibran, berusaha tetap fokus mengemudi. "Tapi lo tahu sendiri—gimana sikap Nyokap gue kalau sudah berurusan dengan nilai sekolah dan prestasi. Gue sendiri nggak tahu, gimana caranya biar Mili mau berubah."

"Iya sih, gue aja kaget dengarnya," kata Rado, menoleh ke depan. Memperhatikan jalan sambil berpikir. "Hmm.. nggak mudah sih kalau Mili sendiri nggak mau memperbaiki kualitas belajarnya. Kecuali ada sesuatu yang membuatnya 'terpaksa' harus belajar."

Gibran melirik Rado sebentar, temannya itu benar. Harus ada 'sesuatu' yang membuat Emilia terpaksa belajar. Tapi apa ya? Sepanjang mengemudi, dia berpikir dalam keadaan berfokus sambil menyandarkan siku kanannya ke jendela, kemudian meraba dagu dengan jari tangannya.

Sedangkan Mama, hari ini pergi menemui Pak Pras sesuai dengan janjinya. Mama pergi naik taksi karena tak ingin mengemudi—makanya Gibran bisa menggunakan mobil Mama ke kampus. Emilia sama sekali tidak peduli tentang apa yang akan dikatakan Pak Prasetya pada Mamanya siang ini. Emilia merasa sudah mengeluarkan unek-unek yang dipendamnya selama ini. Jadi tak ada lagi yang perlu ia takuti.

Dan benar, Mama tidak membahas apa-apa soal pertemuannya dengan Pak Prasetya ketika beliau sudah pulang. Bahkan saat Emilia telah melewati makan malamnya. Mama tampak biasa dan seperti tidak pernah ada pertemuan dengan Kepala Sekolahnya hari ini. Emilia tidak menggubrisnya ataupun bertanya, walau sedikit ada rasa penasaran di hatinya.

Namun lambat laun, rasa penasaran Emilia mulai sirna dari hari ke hari—hingga hari kembali ke sekolah, datang di pagi ini.

Semua siswa tetap berkumpul di halaman sekolah setelah upacara bendera. Pak Prasetya berdiri lebih lama di atas mimbar untuk mengumumkan pembagian kelas yang akan dilaksanakan sesuai berdasarkan rata-rata nilai dan peringkat seperti setiap tahunnya.

"Semua murid yang berprestasi sangat memuaskan akan di tempatkan di kelas IPA-1, siswa berperingkat memuaskan di tempatkan di kelas IPA-2," ucap Pak Prasetya. "Di kelas IPA-3 ditempati oleh siswa yang berperingkat cukup dan di kelas IPA-4, ditempati oleh siswa berperingkat kurang memuaskan."

DELUVIEWo Geschichten leben. Entdecke jetzt