Satu tangannya terangkat menutupi sebagian wajah serta area mata sebelah kanannya. Helaan nafas kasar keluar melalui lubang hidung mancung yang mirip dengan milik sang Ibu. Mark lelah, ingin tidur tapi juga bosan. Lalu ia membuka satu matanya untuk menatap langit-langit kamar yang berwarna biru pastel. Beberapa bagian kamarnya memang tidak diubah warna catnya sesuai keinginan Mark sendiri.
‘Brengsek sekali anak-anak itu.’ Makinya dalam hati. Otaknya kembali memutar kejadian beberapa waktu lalu saat masih berada di sekolah.
‘Kalau saja aku tidak menutupi identitas asliku, sudah habis mereka ditanganku,’ batinnya kesal.
Emosinya kembali meluap mengingat beberapa anak di sekolahnya yang selalu mencari masalah dengannya.
Tak ada yang mengetahui apa yang terjadi di sekolahnya. Mark enggan memberitahukan hal ini pada kedua orang tuanya, ataupun curhat pada Jeno. Mark tau, tak hanya dirinya saja yang mendapat bullyan dari orang-orang di sekolah. Adiknya ternyata juga begitu. Bedanya, Jeno sepertinya sudah tidak sanggup lagi menahan amarahnya sendiri, sedangkan Mark masih sanggup. Ya, setidaknya untuk sementara waktu ini.
Selagi anak-anak itu tidak melebihi batasan saja, Mark masih bisa menahan diri untuk tidak membalas mereka dengan cara yang lebih sadis. Ia hanya tidak ingin membuat masalah besar, apalagi dirinya masih duduk di tingkat 1 SMA. Sejak duduk dibangku sekolah dasar dulu, Mark selalu berusaha menjadi murid baik-baik dan teladan agar dinilai baik dimata guru serta teman-teman sekelasnya. Namun ternyata, menjadi baik saja tidak menghindarkannya menjadi bahan bullyan anak-anak yang iri dengki terhadapnya.
Mark mendengus keras lalu bangkit dari posisi rebahannya. Tangan kanannya merogoh ponsel mahal miliknya yang ada didalam kantong celana, hendak menghubungi seseorang yang paling cocok untuk menghibur hatinya yang badmood ini.
“Tutt....
..Yo, man! Wassup?” sapa orang diseberang sana dengan suara riang yang khas.
Mark menghembuskan nafasnya panjang, dan itu terdengar jelas diteleponnya.
“Ada apa, Mark? Kau sedang bosan ya? Ke mari saja. Aku sedang bermain bersama Haechan,” ajak pemuda itu yang sudah hafal dengan gelagat Mark.
“Oke.” Membalas singkat, Mark lalu mematikan sambungan secara sepihak.
Kemudian Mark bergegas mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian kasual yang lebih santai. Mengunjungi rumah sahabat baiknya adalah hal pertama yang muncul dalam otaknya untuk mencari penghiburan. Sebab sahabatnya itu bisa dibilang orang yang cukup humoris, tingkah serta ucapannya selalu berhasil membuat Mark tertawa.
Drrt drrtt
Ponsel milik Mark bergetar diatas ranjang. Mark memakai atasannya secara tergesa sambil sesekali meringis pelan saat tangan kirinya terlalu banyak digerakkan, begitu sudah selesai, tangannya yang lain meraih benda pipih itu secepat kilat.
Melihat nama ID yang ia kenal terpampang dilayar ponsel, tanpa pikir panjang Mark menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan masuk tersebut.
“Ya, Jaem? Ada apa?”
“Mark hyung! Apa sekarang Jeno ada di rumah??” tanya suara ceria lainnya diseberang sana.
“Tidak ada. Jeno pergi dengan Daddy.”
“Yaahhh....” Jaemin mendesah kecewa. “Padahal aku berniat mengunjungi Mansion habis ini..” lanjutnya, mengutarakan kekecewaan yang mendalam.
“Aku tidak tau kapan mereka pulang.” Mark menjawab jujur. Ia bahkan juga tidak tau ibunya pergi ke mana. Palingan juga pergi bersama bibi Ten.
“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih sudah memberitahuku, Mark hyung.”
“Ya, sama sama, Jaem.”
Tut
Panggilan dimatikan oleh Jaemin. Mark bersiap pergi menuju rumah sahabat baiknya yang tak lain adalah Hendery.
“Tuan muda mau pergi ke mana?” Seorang Butler yang kebetulan melintas di lorong bertanya pada sang Tuan muda.
“Aku pergi ke rumah Hendery dulu. Tolong beritahu mom ya kalau sudah pulang nanti,” pesan Mark sebelum pergi.
Butler Ahn itu mengangguk sambil membungkukkan tubuh sopan.
Mark bergegas pergi menuju pintu depan, menghampiri mobil yang sama dengan yang ia gunakan sebagai alat transportasi ke mana-mana.
“Mau pergi ke mana, Tuan muda?” Supir Mark yang sedang mengobrol dengan salah seorang tukang kebun mendekati Mark untuk bertanya.
“Ke rumah Hendery.”
Tanpa banyak bertanya lagi, sang supir membukakan pintu penumpang belakang untuk sang Tuan muda. Ini memang aturan yang Taeyong buat, melarang anak-anaknya mengendarai mobil sendiri sebelum memasuki usia legal.
Ada beberapa aturan baru yang Taeyong terapkan untuk suami serta anak-anaknya. Sebagai kepala keluarga, Jaehyun justru cenderung membebaskan anak-anaknya namun tetap harus bertanggungjawab atas apa yang diperbuat nantinya. Ayah dan ibunya memang berbeda, namun baik Mark dan Jeno tidak pernah merasa tertekan atas didikan orang tua mereka. Toh keduanya juga mengerti, ini semua demi kebaikan mereka berdua juga.
Namun yang sebenarnya memberatkan Mark dan Jeno bukanlah peraturan yang ibu mereka buat, melainkan larangan dari ayah mereka untuk memberitahukan identitas asli keduanya.
“Apa perlu saya menunggu di sana, Tuan muda?” Lamunan Mark buyar ketika sang supir bertanya padanya.
“Tidak usah. Kembali saja ke Mansion, nanti aku hubungi lagi.”
“Baik, Tuan muda.”
Tuan muda? Kadang Mark ingin tertawa sendiri mendengar sebutan itu untuknya. Rasanya menggelikan, mendengar sebutan itu saat usianya semakin bertambah dewasa.
“Eum, Tuan muda?” Sang supir kembali memanggil Mark. Namun kali ini, nada bicaranya terdengar ragu.
“Apa?” Mark hanya menjawab singkat. Entahlah, moodnya lumayan buruk hari ini.
“Anda tidak berniat menunjukkan luka itu pada Nyonya Taeyong?”
Tubuh Mark menegang beberapa detik, sebelum tangan kanannya secara reflek terangkat menyentuh lengan kiri bagian atasnya. “Tidak. Jangan katakan apa-apa pada Mom ataupun Dad,” pesannya, dengan sungguh-sungguh.
“Ba-baik, Tuan muda.”
Mark mengalihkan pandangannya ke luar jendela lagi. Tangannya menyentuh lengan kiri atasnya secara hati-hati. Dahinya mengernyit kecil, merasakan sensasi nyeri sekaligus perih ketika tak sengaja ia menekan lembut bagian yang sedikit membiru dibalik lengan bajunya.
“Jangan katakan apapun tentang hal ini. Aku bisa mengatasinya sendiri,” kata Mark yang sarat akan penegasan. Raut wajahnya terlihat serius, membuat sang supir hanya bisa mengangguk patuh. 'Mungkin belum waktunya,' pikir sang supir tersebut.
Ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali saja. Tetapi sang Tuan Mudanya itu tidak pernah mengaduh atau melapor pada siapapun. Tentu saja sebagai supir pribadi Mark, Tuan Kang sangat mengkhawatirkan keselamatan anak kesayangan Nyonya cantiknya itu.
👑 TBC 🦁
JE LEEST
Our Fate 「 The Jung 」
FanfictieSequel of My Mate "Jaehyun, aku takut terjadi sesuatu pada anak-anak kita." "Jangan khawatir, okay? Kita hanya cukup percaya kepada mereka. Anak-anak kita kuat dan tau cara mengendalikan diri mereka sendiri. Jika suatu saat nanti 'mana' itu mulai m...
「 3 : Hide It 」
Start bij het begin
