「 1 : First Offense 」

Start from the beginning
                                        

Taeyong benar-benar sedih dan kecewa. Terutama pada dirinya sendiri. Ia merasa sudah gagal sebagai ibu yang membesarkan dan mendidik anak-anaknya.

Jeno yang sedari tadi diam tak bersuara diam-diam melirik ibunya yang baru menutup pintu ruangan kepala sekolah. Ia tau, ibunya pasti sangat kecewa terhadapnya. Namun ia tidak terlalu menyesali perbuatannya, justru ia puas telah berhasil memberi pelajaran pada anak yang sudah mencari masalah dengannya.

Namun sebisa mungkin, Jeno berusaha bersikap biasa dan tetap terlihat tenang supaya ibunya tidak semakin marah kepadanya.

Hening menyelimuti keduanya cukup lama. Taeyong menahan diri untuk tidak memberondong Jeno dengan berbagai pertanyaan serta omelan. Ibu muda itu memilih untuk mengatur nafasnya terlebih dahulu sambil menenangkan diri. Mereka masih berada di lingkungan sekolah, sangat tidak etis mengomeli anaknya di tempat terbuka.

“Jadi, apa pembelaanmu, Jung Jeno?” Hanya itu yang sanggup ia tanyakan.

Ia tau, puteranya tak akan bertindak bila tidak ada api yang menyulut. Apalagi ini Jung Jeno yang mereka bicarakan. Ketimbang kakaknya, Jeno jauh lebih pendiam dan sangat cuek. Kalau kata suaminya, Jeno itu benar-benar jiplakan suaminya di masa lalu. Maka tidak akan heran lagi bila kelakuan anak itu sangat mirip dengan ayahnya.

Tetapi sampai memukul seseorang? Taeyong akan menanyakan lebih lanjut soal masa kecil suaminya. Bila benar-benar mirip dengan kelakuan suaminya, berarti ini kesalahan dari pria tampan yang sudah menemani hidupnya belasan tahun lamanya itu.

“Aku hanya memberinya pelajaran yang setimpal dengan perkataannya saja, mom.” Jeno menjawab dengan gidikkan bahu acuh. Tampak tidak ada penyesalan sama sekali dimata Taeyong.

Dan mengapa Taeyong tidak terlalu terkejut dengan sikap Jeno ini? Yah, ia sering melihat sikap seperti ini pada diri suaminya juga.

Memijit pangkal hidungnya pelan. Taeyong memilih menyimpan pertanyaannya untuk malam nanti, menunggu suaminya lebih dulu.

“Kemasi barang-barangmu. Kita pulang sekarang.” Ucapan Taeyong tidak terbantahkan. Dan Jeno juga sudah tidak ingin berada di sekolah lama-lama, tanpa banyak bicara lagi, pemuda Jung itu melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju ke kelasnya sendiri untuk mengambil tas ransel miliknya yang tertinggal.

Untuk dua minggu kedepan, ia tidak akan bertemu dengan teman-teman sekelasnya yang menyebalkan itu. Diam-diam Jeno menyunggingkan senyum senangnya. Meskipun ia harus menyiapkan telinga dan mentalnya untuk berhadapan dengan orang tuanya nanti malam. Ia sudah muak berada ditengah-tengah orang-orang bermuka dua seperti teman-teman sekelasnya.



♣️




Pluk

“Apa yang dad dapatkan ini?” Jaehyun melemparkan sebuah surat berlogo sekolah tempat puteranya menimba ilmu. Surat itu datang ke kantornya siang tadi, alangkah terkejutnya Jaehyun setelah membaca isi dari surat laporan tersebut.

Jeno yang berdiri tenang di depan meja kerja ayahnya hanya menatap surat itu tanpa minat. Toh ia sudah dapat menebak isi dari surat tersebut. Apalagi jika bukan surat skorsingnya?

“Ada pembelaan?” Suara Jaehyun terdengar tak bersahabat dan tatapan matanya menatap sang putera dengan tajam.

Pria itu baru saja pulang dari kantor dan belum mengganti pakaian kerjanya. Hanya membuang jas mahalnya ke sofa yang ada di ruangan itu, lalu menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku.

“Hanya ingin memberikan pelajaran pada orang yang bermulut besar. Apa itu bisa diterima?” Jeno menjawab dengan raut muka datar. Seakan tak merasa bersalah atas perbuatan ajaibnya tadi siang.

Our Fate 「 The Jung 」Where stories live. Discover now