Bab 12: Harisa punya belahan duren

12K 961 9
                                    

"Loh, memang barangnya cuma segini?" Aku mengangguk ke Abang yang menatapku dengan tatapan heran. Memang segini yang barang yang mesti ku bawa.

"Kamu gak bawa baju ganti? or any stuff?" Sambungnya.

"Kita mau menginap?" Abang mengangguk.  Aku menatap Abang malas. Dia gak bilang sama sekali kalo kita mau menginap. Dia cuma bilang mau ke puncak dan menyuruh aku untuk mengemas barang. Aku kira kita bakalan langsung pulang sorenya, jadi yang ku bawa hanya tas kecil.

Abang meringis. "Aku kira kamu sudah tau."

"Mana kutau kalo gak bilang Kakaaak."

Aku buru-buru mengambil barang yang kami butuhkan dengan perasaan antara jengkel dan senang. Aku excited banget dengan rencana Abang ke puncak. Ini pertama kalinya kita berdua liburan bareng. Andai aku tau kalo mau menginap, mungkin aku udah prepare dari tadi malam. Dia mengekor di belakangku dan membantu seadanya.

Kami berdua sudah selesai menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan selama menginap di puncak dan sudah siap untuk berangkat. Tapi ketika aku mulai menutup pintu apartemen, telepon Abang berdering.

"Ya." Tidak lama kemudian, mata Abang membelak.

"What? Really? So what now?"
Aku sadar ada sesuatu yang nggak baik yang baru diterima Abang. Dia mengerang dan mengumpat. "Holy shit!!"

Aku mengusap bahunya berharap Abang bisa menahan emosinya bagaimanapun masalah yang terjadi. Walaupun aku gak tau duduk permasalahnnya, setidaknya aku bisa berguna sedikit untuk dia.

Abang memejamkan mata sambil menarik napas dengan dalam setelah mematikan telepon, lalu dia menatapku dengan pandangan bersalah. "Kenapa Kak?"

"Hampir semua investor mau menarik sahamnya. Mereka mau mengadakan rapat. Sebenarnya ada Andreas di sana.  But, mereka mau kami bertiga hadir dalam rapat ini. You know, pacar Jo punya andil besar dalam masalah ini. Jo masih kami amankan."

"Kapan rapatnya?"

"Lusa."

"Jadi...Kakak mau ke US?" Abang terdiam.

Dari gelagatnya, dia ingin bilang iya tapi disisi lain dia juga tidak enak. Jadi, bisa ku simpulkan kalo rencana kita ke puncak kemungkinan besar batal. Padahal sejak tadi, di kepalaku sudah banyak tersusun rencana kita mau lakuin apa dan ke tempat mana saja. Tapi masalah ini lebih penting. Kita bisa liburan kapan pun.

"But.. This is our first holiday."

"Gak papa. Kita bisa liburan semau kita di lain waktu." Dia menatapku dengan pandangan berat seolah dia ingin menyanggah.

"Really?" Aku mengangguk. Dia punya tanggung jawab besar di sana.

"Iya. Ku bantu packing yah?" Ucapku sambil kembali membuka pintu apartemen.

Selagi aku memasukkan baju Abang ke dalam koper, dia memesan tiket pesawat. Sesekali teleponnya masuk. Kali ini Abang lebih tenang dari sebelumnya. Kalo kemarin dia sampai mengacak rambut dan mondar-mandir di balkon, sekarang dia cuma menarik napas panjang dengan mata tertutup lalu bicara dengan tenang melalui telepon.

Padahal, liburan ini sebagai permintaan maafnya karena dia sibuk selama tiga hari. Belum sampai ke puncak, dia udah harus sibuk lagi.

*****

"Atau kamu ikut saja Sa?"

Aku menggeleng. Bukannya konsentrasi sama masalah kantornya, dia malah kerepotan ngurusin aku yang mungkin aja kena culture shock selama di sana karena baru pertama kali keluar negeri. Lagipula minggu ini aku juga sedang sibuk-sibuknya dengan UTS.

Berlayarnya Perahu Nyonya Rian (SELESAI)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz