STIGMA-10

63.5K 8.1K 3.3K
                                    

Udah siap hati sama mental? 💔

Udah siap ramein setiap paragraf dengan komentar? Harus siap ya!

Yang belum vote, vote dulu please.

•••

Alya membuka kedua matanya yang semula terpejam, ia meringis karena kepalanya terasa begitu berat seperti dihantam oleh bebatuan besar. Alya menatap langit - langit ruangan yang terlihat sangat asing dimatanya. Ketika ia menemukan tubuhnya tanpa balutan sehelai kain pun, ia refleks merubah posisinya menjadi duduk dengan kakinya yang terus bergerak gelisah, sampai - sampai ia terjatuh dilantai. Ia merosot mundur hingga punggungnya menyentuh dinding dan meringkuk memeluk tubuhnya sendiri saking merasa syok.

Sekujur tubuhnya gemetar hebat, ia menggigit kuku jarinya ketakutan, hingga patah dan berdarah. Ia berusaha mencerna apa yang telah terjadi, ia terus membenturkan kepalanya, memaksa otaknya untuk bekerja. Alya menggelengkan kepalanya dengan kuat, ia mengacak rambutnya dengan begitu frustasi, bahkan ia sampai menjambak rambutnya sendiri, dan berteriak kencang sampai suaranya memenuhi ruangan kedap suara tersebut. Teriakan yang menggambarkan betapa sakit hatinya.

"A-ku hina, aku murahan, aku udah nggak punya harga diri." Alya menjeda ucapannya untuk menarik nafas sedalam - dalamnya."Aku nggak pantas hidup...."

Suara langkah kaki dari luar membuat Alya membekap mulutnya sendiri, ia menangis tanpa meninggal jejak suara. Karena tidak ingin apa yang terjadi dengannya, akan terulang kembali. Kini ia merasa hancur, sehancur hancurnya.

Ia merangkak untuk mengambil pakaiannya kembali sebelum memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Tepat ketika membuka pintu, Alya langsung dihadapkan oleh keramaian. Ratusan orang terlihat sedang  menikmati waktu mereka dengan pesta minuman dan mabuk bersama. Lagu yang diputar berdentum dengan sangat keras, juga lampu sorot yang begitu menganggu penglihatannya. Tubuhnya berkali - kali terdorong bahkan terjatuh. Parahnya lagi tubuhnya diinjak - injak membuat Alya meringis kesakitan. Namun ia berusaha untuk bangkit kembali.

Setelah berhasil keluar, Alya berlari dengan langkahnya yang tertatih. Hari sudah larut malam, jam sudah menunjukan pukul dua belas tepat dini hari. Keadaan jalanan sangat sepi dan lenggang. Alya terus berlari, tanpa tanda akan berhenti, walaupun sesak di dadanya sudah cukup menyiksanya.

Alya menghentikan langkahnya menatap nanar ke hamparan sungai dibawah sana. Tatapannya kosong, tersirat banyak kekecewaan, dan sudah tidak ada satupun harapan yang tersisa. Alya mencengkram kuat raling jembatan dan berteriak sekencang mungkin, meluapkan perasaannya, dengan begitu hatinya terasa lebih lega, walaupun itu tidak akan cukup untuk menyembuhkan lukanya. Lukanya yang belum sembuh, namun ditambah dengan luka baru lainnya.

"Sekarang apa yang harus aku lakukan?" tanyanya lirih dengan bibirnya yang pucat.

•••

Alya kembali kerumahnya, ia berlari masuk. Tepat setelah ia membuka pintu, ia terduduk lemas di lantai. Wiguna yang ternyata menunggu kepulangannya bersama istri sahnya itu sudah bangkit berdiri dengan menunjukan amarahnya yang meluap di balik matanya. Wiguna menghampiri Alya dengan langkah lebar. Alya yang sudah ketakutan itu melangkah mundur, menjaga jarak aman. Karena belum siap untuk menerima kekerasan yang akan diberikan oleh beliau.

"Kenapa baru pulang? Kamu nggak suka tinggal disini? Kalau gitu jangan pernah kembali lagi! Saya tidak butuh anak tidak tahu diri sepertimu!" bentak Wiguna membuat Alya tersentak. Wiguna melepaskan ikat pinggangnya hendak memberikan Alya sebuah pelajaran.

STIGMA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang