17.

215 150 98
                                    

Koridor terlihat sepi karena semua siswa-siswi sekolah itu tengah sibuk mengikuti pelajaran di kelas masing-masing. Kecuali kelasnya yang sedang bergaduh ria di lapangan dan entah apa yang mereka lakukan.

Rasa kantuk yang menyerang mendorongnya untuk menuju ruang ternyaman di sekolah tersebut. Perpustakaan. Ruang yang memang sering ia kunjungi. Bukan untuk belajar atau membaca, melainkan sebagai tempat tidur nyamannya.

Ia merogoh sakunya lalu mengeluarkan headset dan memasangnya di kedua telinga.

Masih ada beberapa menit sebelum jam olahraga berakhir. Ia segera mencari meja yang letaknya sedikit pojok dan berhadapan langsung dengan jendela.

Tidak biasanya ia berani ke ruangan atau tempat sepi tertentu namun, kali ini berbeda. Ia sedikit berani dan lebih sering ke perpustakaan ini seorang diri. Mungkin pikirnya masih ada Bu Sofia_penjaga perpustakaan yang selalu stay di kursinya sampai jam pulang sekolah nanti.

"Kamu mau tidur lagi, Alya?" tanyanya pada suatu hari.

"Kok lagi Bu? Saya cuma dua kali ke sini,"

"Yah, sama aja. Tujuan kamu mau tidur, kan?"

"Astaga, Bu Sofia tahu aja, sih,"

Alya tersenyum menanggapi Bu Sofia yang ternyata sudah mengetahui niatnya. Hingga wanita itu begitu hafal dengan kebiasaannya belakangan ini.

"Yaudah terserah kamu, kalo ketahuan guru lain saya nggak mau ikutan,"

Alya tersenyum senang. "Siap Bu. Pokoknya Alya nggak bakal ketahuan." Bu Sofia hanya menggelengkan kepala menatap gadis itu.

Dua puluh menit berlalu namun Alya masih asik dengan dengkuran halusnya. Gadis itu terlelap dengan semilir angin yang berhembus lewat daun jendela di depannya. Membuatnya semakin pulas dalam mimpinya.

Tanpa ia sadari ada seseorang yang menatap lekat wajah gadis itu. Tidak jauh dari tempatnya tertidur cowok itu tersenyum lega. Melihatnya saja sudah cukup membuat hatinya begitu tenang. Apalagi bisa berada di dekatnya seperti dahulu.

Cowok itu segera beringsut keluar setelah menyadari Alya yang perlahan membuka matanya.

"Udah jam berapa nih?" monolognya sambil melirik jam tangan dengan mata menyipit.

"Eh-...

Dahi gadis itu berkerut mendapati sebungkus roti dan sekotak susu vanila di hadapannya. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan, namun ia tidak menemukan siapa-siapa.

Lantas ia beranjak pergi menuju kamar mandi untuk berganti seragamnya. Bel pergantian jam pelajaran berbunyi, ia langsung memasuki kelasnya. Sudah banyak beberapa temannya yang telah duduk rapi dan siap untuk menerima pelajaran.

"Makasih Ar, tumben ngasih gue makanan," ucap Alya.

"Makanan apaan?"

Alya menatap cowok itu lekat. "Tadi elah, roti sama susu,"

"Lo ngomong apaan sih? Gue nggak ada ngasih apa-apa ke lo,"

"Lah, beneran lo?"

Aryan mengangguk. "Emang dapet darimana tuh makanan?" pandangannya menilik sebungkus roti dan susu tersebut.

"Di perpus tadi, ada di depan gue. Gue kira lo yang ngasih,"

"Trus dari siapa?"

Aryan mengendikkan bahunya. "Lo beneran nggak tahu dari siapa," tanyanya memastikan.

Alya menggeleng. "Nggak tahu, Ar,"

"Coba tanya Bu Sofia aja."

Alya mengangguk menanggapi saran dari cowok itu. Jika bukan Aryan lantas siapa yang memberi makanan dan minuman tersebut? Ia menatap makanan tersebut dengan berbagai pertanyaan di kepalanya.

Sejurus kemudian guru pengampu mapel datang dan pembelajaran kembali dilanjutkan. Namun Alya masih memikirkan dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah semua ada hubungannya dengan peneror pesan selama ini? Atau hanya kebetulan saja.

"Udah, nggak usah keras-keras mikirnya. Nanti kita selidiki sama-sama," tangan cowok itu terulur menyentuh punggung telapak tangan gadis itu yang terlihat dingin. Seakan menyalurkan ketenangan di sana.

"Bisa aja kan adik kelas atau kakak kelas yang ngefans sama lo," tebaknya.

Dahi Alya berkerut. "Yakali Ar, emang gue aktris apa, bisa punya fans. Ada-ada aja lo,"

"Lebih masuk akal lagi kalo lo yang punya fans, siapa sih yang nggak kenal sama lo," cibirnya.

"Terus kenapa? Lo cemburu kalo gue punya fans?"

"Idih, siapa juga yang cemburu. Nggak ada ya."

Aryan tersenyum menatap Alya yang sudah kembali dengan wajah juteknya, tidak seperti tadi yang hanya ada kegelisahan di kedua mata itu.

##

Seluruh pandangan mereka tertuju pada gundukan tanah yang masih terlihat basah di hadapannya. Tidak ada gurauan atau candaan yang biasanya terjadi. Hanya ada wajah duka yang mendominasi suasana itu.

Reno. Salah satu anggota Malvorius yang berakhir tragis dalam pertempuran dua geng besar. Nyawanya tidak tertolong saat hantaman keras tepat mengenai kepalanya. Terjadi pendarahan hebat dan menyebabkannya tidak sadarkan diri di tempat. Sebelumnya tidak ada yang menyadari jika salah satu temannya tengah meregang nyawa di tengah badai pertempuran besar tersebut, karena kalap dengan kegiatan baku hantamnya sendiri-sendiri.

Dengan tertatih Reno mencoba bangkit dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya, namun belum sampai satu menit tubuh itu berdiri, ia sudah tumbang lagi dan kesadarannya perlahan hilang. Hingga tidak sadar sampai ia menemui ajalnya secepat itu.

Tidak ada yang mengira jika Reno seorang berbadan besar serta kekuatannya dalam baku hantam tidak diragukan itu berakhir tragis dalam pertempuran itu.

"Gue nggak akan terima sampai kapan pun," ucap Jordy memecah keheningan yang sebelumnya terjadi.

Semua pasang mata menatap ke arah cowok itu yang kini sudah mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Merasa terpukul atas perginya sahabat dekatnya itu. Tidak terima akan apa yang sudah terjadi dan semakin menyesal karena tidak menjaga dan mengawasi pergerakan musuhnya yang terlewat batas itu.

"Dendam lo nggak akan buat Reno hidup lagi," kini Dion bersuara di tengah kesunyian.

Jordy menghirup napasnya memburu dan menghembuskannya kasar. "Gue bakal lakuin apa yang pantes mereka dapatkan, nyawa dibayar nyawa."

Dion menghela napas, seakan jengah dengan sifat keras kepala teman satunya itu. "Lo cuma emosi dan bukan ujung penyelesainnya,"

"Cih, dasar nggak punya solidaritas. Menurut lo Reno juga bakal terima dia mati konyol kayak gini,"

"Nggak Yon-...

Semua mata menatap Jordy dengan tatapan yang bermacam-macam. Ada yang sependapat dengan ucapan cowok itu namun tidak sedikit yang menyangkal tentang itu. Karena sejatinya kematian hanyaalah milik Tuhan. Semua garis takdir sudah Dia tulis di buku-Nya.

"Kalo lo semua nggak mau bantu, gue bisa sendiri. Tangan gue masih sanggup buat nuntasin mereka semua." ucapnya telak matanya menatap nyalang semua orang di sekitarnya.

Dion menatap Jordy sekilas, memang harus dengan kesabaran ekstra jika sudah berhadapan dengan manusia batu itu.

Dengan langkah santai Dion melenggang pergi dan mengabaikan semua orang di area pemakaman tersebut. Setelahnya beberapa orang juga ikut melangkah menjauh dari sana.

"Tunggu aja tanggal mainnya." gumamnya.

Tatapannya jatuh pada nisan di depannya, ia berjongkok dan menyentuh nisan yang terasa dingin. Sahabat yang sudah ia anggap saudara sendiri sudah terbujur kaku di dalam tanah tersebut. Tidak akan pernah kembali dan menghabiskan waktu bersamanya. Sudah tidak ada lagi gurauan juga nasehat yang pernah ia dengar dari mulut seorang Reno Bimana.

Air matanya perlahan jatuh dengan sendirinya. Tidak ada Reno ia bisa apa, selama ini keduanya selalu bersama dan tempat untuk berbagi dan kembali.



TBC

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang