24. Hari itu

22.9K 1.1K 22
                                    

"Sayang..."

Nara mengalihkan pandangan pada pria di sebelahnya. Menghentikan sejenak jemari yang sedang mengetikkan sebuah pesan di layar ponsel pintarnya. Saat ini keduanya sedang menikmati minuman hangat di sebuah cafe yang sudah beberapa kali mereka kunjungi. Udara malam yang dingin, berhembus menerpa kulit. Membangunkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh.

"Hm, kenapa, Mas?" tanyanya. Ia serius mendengarkan apa yang akan pria tampan itu ucapkan.

"Aku mencintaimu, Naraya Puji Astika."

Nara tertawa sembari menjauhkan pandangannya. Namun tak lantas mengurangi rasa bahagia dalam hatinya. Bahkan wajahnya terasa memanas saat ini. Setiap kali pria itu mengungkapkan cintanya, jantung Nara selalu berdebar hebat. Tak ubahnya seperti saat ini. Walau keduanya sudah menjalin hubungan selama lima tahun.

"Aku tau, Mas." Jawaban Nara membuat kekasihnya itu merengut. Ia ingin mendengar kalimat yang sama dari Nara. Gadis itu malah mengalihkan fokusnya kembali pada ponsel.

"Gitu aja?" Dari nada suaranya saja, Nara tau pria itu kesal.

Nara kemudian meletakkan ponselnya lagi setelah menekan tombol send yang berbentuk panah warna hijau di sudut kanan bawah layar ponsel. Netranya terpaku pada wajah tampan di hadapannya. Senyum tipis yang menampilkan lesung pipi itu semakin membuat Ergi tergila-gila pada gadis pujaannya.

Wajah Nara sengaja didekatkan pada Ergi, sebelum akhirnya ia bersuara. "Aku juga mencintaimu, Ergi Prastisyo. Sangat." Seluruh kalimat yang Nara ucapkan penuh penekanan. Seolah sedang menegaskan, jika seluruh hatinya telah menjadi milik Ergi.

Ergi ikut tersenyum. Memang, kalimat itu yang ia nantikan. Ia akan merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia, setiap kali Nara mengatakan kalimat sakti itu. Itu sebabnya, Ergi selalu memancing Nara untuk mengatakannya. Tak peduli dengan tanggapan orang lain yang mungkin mendengar mereka dan menilai mereka lebay. Yang penting, mereka bahagia dengan cara mereka sendiri. Lagipula Nara juga tidak mempermasalahkan hal itu. Dua insan yang sedang dimabuk cinta memang seperti itu.

Tak membuang kesempatan, Ergi mencuri sebuah kecupan singkat di bibir Nara. Membuat gadis itu memukul pelan lengan kekasihnya. Ia tersipu malu, saat menyadari jika mereka berada di tempat umum.

"Kenapa harus malu?" Ergi berseru pelan, tak terima dengan maksud Nara.

"Mas, apa-apaan sih? Ya malulah, diliatin orang. Nanti dikira kita pasangan mesum yang nggak liat-liat tempat. Main nyosor aja," keluh Nara.

Tangan Ergi terangkat, mengacak rambut tepat di puncak kepala Nara. Tak lupa menyunggingkan senyum tipis. "Masa iya cium pacar nggak boleh? Lagian nih ya, biar mereka tau kalau kamu itu udah milikku. Jadi nggak diliatin lagi," jelas Ergi santai.

Di usianya yang sudah masuk kepala tiga, Ergi tak segan untuk bersikap kekanakan terhadap kekasihnya. Terkadang ia juga senang bermanja-manja pada Nara. Gadis itu selalu menerima dirinya. Namun tentu saja Ergi pun selalu memanjakan Nara. Dengan kemapanan yang ia punya, bukan tidak jarang ia membelikan barang yang sangat diinginkan Nara, walau tanpa diminta. Dan hal itu cukup menyanjung Nara.

"Kalau nggak boleh diliatin orang, nggak usah bawa pacarnya keluar rumah, Mas. Dibekap aja terus di kamar," omel Nara. Sikap protektif Erga kadang membuatnya mengomel pelan.

Ergi mengerling nakal pada Nara. "Yakin nih, mau dibekap di kamar?" godanya.

Lagi, Nara memukul lengan Ergi. "Ih, apa-apaan coba!"

"Kan kamu yang bilang, Sayang."

"Disahkan dulu, dong," sewot Nara.

Dengan gerakan kilat, Ergi memberikan kecupan lagi. Kali ini di pipi putih Nara yang selalu menampilkan lesung pipi saat tersenyum.

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz