17. Yang Sabar, ya, Ra!

30.2K 1.6K 35
                                    

Nara duduk di kursi halte bandara. Pandangannya menyapu jalanan ibukota yang cukup ramai meski hari sudah mulai gelap. Satu tangannya mengelus perut sementara tangan lain masih memegangi gagang koper berisikan pakaiannya. Satu tas selempang dengan tali yang menggantung di bahu, teronggok indah di pangkuannya.

Setelah kejadian pelecehan oleh suaminya sendiri, Nara memutuskan untuk pergi saat itu juga. Setelah membersihkan diri, ia mengemas pakaian dalam satu koper. Dompet dan ponsel ia masukkan dalam tas selempang dan disampirkan di bahu. Ia pergi, saat Erga masih berendam di kamar mandi dan bik Emi sedang belanja ke pasar. Keadaan yang sangat menguntungkannya.

Tujuannya adalah ibukota. Ia sudah menghubungi seorang sahabat yang bersedia menampungnya setidaknya selama beberapa hari sebelum ia menemukan tempat tinggal sendiri. Tentu saja tak lupa untuk membeli sebuah tiket pesawat. Dan kini, ia sedang menunggu teman itu untuk menjemputnya di bandara.

Nara baru pertama kali ini menginjakkan kaki di ibukota. Jadi ia belum tau kondisi sebenarnya seperti apa. Tapi ia akan mempelajarinya dengan cepat. Ia harus menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga, ia akan tinggal di ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini. Atau mungkin akan lebih kejam dari suaminya itu.

Nara mengambil ponsel pintarnya, setidaknya untuk mencari tau keberadaan temannya, entah berapa lama lagi ia menunggu. Tapi ternyata, suara yang menyerukan namanya menghentikan aksi itu. Memasukkan kembali ponsel ke dalam tas.

Senyum Nara mengembang melihat sosok sahabatnya yang berlari menemui dirinya. Kimi Ayasha Deandra, nama gadis itu. Keduanya sudah menjadi sahabat sejak di bangku sekolah. Setidaknya sudah sepuluh tahun lamanya.

"Nara, aku merindukanmu," bisik Kimi sembari memeluk tubuh Nara.

"Aku juga," balas Nara. Ia pun membalas pelukan sahabatnya itu, sahabat yang telah lama tak bertemu karena terpisah jarak yang begitu jauh.

Kimi mengurai pelukannya. "Tapi, Ra, kamu yakin dengan tindakan kamu ini?" selidik Kimi. Semua yang terjadi, Nara sudah sempat ceritakan pada sahabatnya lewat telefon. Tapi tetap saja hal itu sedikit mengkhawatirkan Kimi.

"Aku yakin, Kim. Setidaknya, biar aku lebih tenang dulu di sini untuk selanjutnya berpikir apa yang harus aku lakukan kemudian tanpa ada yang mengusik. Dan aku tau, kamu pasti akan memberikan saran yang terbaik."

"Terserah kamu, deh, Ra. Tapi aku nggak mau, kalau suatu saat nanti ada yang menuduhku telah menculik istri seseorang dan membawanya kabur. Kan, nggak lucu."

Nara terkekeh. Kimi pun ikut terkekeh menyadari ucapannya sendiri yang mungkin saja didengarkan oleh orang lain.

Kimi lalu meraih koper yang milik Nara. Dan menggandeng tangan wanita itu agar mengikutinya menuju parkiran bandara, tempat dimana ia memarkirkan motornya.

"Tapi aku cuma punya motor, ya, Ra. Nggak sekaya suami kamu yang bawa kamu naik mobil," selorohnya begitu ia membunyikan alarm motor berwarna merah di depan mereka.

"Tapi bisa jadi naik motor lebih bahagia dibanding naik mobil, Kim," balasnya. Pada kenyataannya memang seperti itu. Tak pernah ada senyuman selama ia menumpangi mobil milik suaminya sendiri. Selalu saja hanya suasana hening, atau tegang yang sangat mencekam.

"Biasa aja kali, Ra." Kimi menjawab sembari menyerahkan sebuah helm pada Nara untuk digunakan. Ia sudah mempersiapkannya sebelum berangkat menjemput Nara.

Kimi memposisikan koper sahabatnya di bagian depan motor matic miliknya. Ukuran koper itu memang tak terlalu besar. Jadi Nara bisa duduk dengan leluasa di belakang.

Motor matic itu melaju dengan perlahan, mencari celah untuk bisa keluar dari area parkiran yang cukup padat. Nara bisa memperhatikan, jika sahabatnya itu lebih lihai mengendarai motor dibanding dirinya. Dan ia cukup mengagumi kemahiran gadis bertubuh proporsional itu.

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Where stories live. Discover now