9. Fransisca Agatha

17.6K 1.3K 20
                                    

Makan malam berlangsung hening. Tak ada yang berniat untuk membuka pembicaraan sejak peringatan yang Erga berikan. Nara sendiri hanya bisa melirik Erga dalam diamnya. Ada perasaan bersalah, walau sebenarnya ia tidak melakukan kesalahan. Membahas tentang Ergi bukanlah sebuah kesalahan.

Usai makan malam, Nara langsung masuk ke kamar. Kepalanya terasa pusing, bawaan bayi dalam kandungannya. Nara memang merasakannya beberapa kali.

Wanita itu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Mengambil kesempatan menikmati kasur empuk sebelum suaminya masuk kamar. Karena ia yakin, jika pria itu datang, ia harus pindah ke sofa.

Tak berselang lama, Erga pun masuk kamar. Nara yang menyadari kehadiran pria itu segera beranjak dari atas kasur, sebelum pria itu marah.

"Istirahat aja!"

Kalimat bernada rendah itu membuat Nara terkesiap. Menghentikan kaki yang hendak turun dari atas kasur. Ia tak menyangka jika Erga membiarkannya tidur di kasur.

"Mas gimana? Mau tidur dimana?" Nara memang sangat ingin tau hal itu.

Tapi Erga tak menjawab pertanyaan Nara. Pria itu hanya melirik ke arah Nara sejenak, lalu bergegas keluar kamar lagi. Seakan tak ingin ada komunikasi di antara mereka.

Nara hanya bisa menghela nafas. Mengumpulkan kesabaran untuk menghadapi suaminya. Tanpa sadar, tangannya bergerak untuk mengelus perut.

Sebelum tidur, Nara memilih untuk membaca novel yang ia beli terakhir kali. Belum sempat dibaca karena sibuk dengan rencana pernikahan. Lalu berlanjut pada kemalangan yang merenggut nyawa kekasihnya. Dan sekarang, ia baru punya waktu untuk melakukan hobinya yang satu itu.

Entah sejak kapan rasa kantuk menyerang Nara. Yang ia tau, ia baru terbangun dari tidur. Novel yang dibacanya pun terjatuh begitu saja di sebelah wajahnya.

Nara memutar wajah untuk mengetahui situasi kamar. Lebih tepatnya, untuk mencari keberadaan Erga. Tapi ia tak menemukan sosok suaminya. Entah kemana perginya semalam.

Wanita yang tengah hamil itu pun segera bangun. Merapikan kembali novel yang teronggok di atas kasur dan merapikan kasur. Jam yang sudah menunjuk angka enam memaksanya untuk segera keluar kamar.

Di dapur, Nara mendapati jika bik Emi telah menyibukkan diri dengan rutinitas hariannya. Menyiapkan sarapan untuk mereka.

"Bik, mas Erga kemana ya?" Nara bertanya.

Wanita paruh baya itu menoleh ke arah Nara. "Memangnya mas Erga nggak ngasih tau Mbak, kalau dia ada pekerjaan di luar?"

Nara terdiam. Membayangkan suaminya yang memang tak menganggap dirinya. Pria itu lebih memilih mengatakannya pada bik Emi dibanding dirinya yang adalah seorang istri. Nara sungguh tak berharga baginya.

"Oh, mungkin Mbak Nara udah tertidur semalam saat mas Erga pamit," lanjut bik Emi yang seakan mengetahui isi pikiran Nara. "Mbak duduk aja dulu, Bibik siapkan susu," lanjutnya.

Nara menuruti perkataan bik Emi tanpa menjawab. Ia semakin menyadari, jika di rumah ini mereka hanya orang asing. Sudah saatnya bagi Nara untuk memikirkan hidupnya sendiri. Tanpa mengkhawatirkan persetujuan dari Erga. Lagipula, pria itu sudah mengatakan jika Nara bisa melakukan apapun yang dia suka.

"Ini, Mbak, susunya." Bik Emi meletakkan segelas susu di hadapan Nara.

Wanita itu hanya memberikan seulas senyum pada bik Emi sebagai ucapan terima kasih. Lantas ia mengangkat gelas itu dan membawanya kembali ke kamar. Ia harus melakukan sesuatu.

Sementara bik Emi hanya melihatnya dengan wajah bingung.

Di kamar, Nara segera membuka ponsel miliknya dan memeriksa sesuatu di sana. Cuti sebanyak dua minggu yang ia ambil, masih tersisa dua hari lagi. Tapi ia memutuskan untuk mulai masuk kerja hari ini.

Susu yang tadi dibawanya ke kamar, diminum hingga habis tak bersisa. Kemudian bergegas masuk ke kamar mandi.

Tak butuh waktu lama bagi Nara, hingga wanita itu keluar dari kamar mandi. Ia segera memilih setelan kemeja dan celana panjang untuk dikenakan hari ini. Tak lupa pula sebuah scarf dililitkan di leher.

Selanjutnya ia memoles wajahnya dengan make up tipis. Merapikan rambut dalam sebuah gelungan simpel. Dan Nara sudah siap untuk berangkat. Tentu tak lupa dengan sepatu flat dan tas selempang yang biasa ia pakai.

"Loh, Mbak Nara mau kemana?" Bik Emi bertanya karena kaget dengan penampilan Nara yang sudah rapi. Tadinya ia berencana untuk mengajak Nara sarapan.

Nara memamerkan senyum manisnya. "Mau kerja, Bik," jawabnya pelan.

Bik Emi belum bisa menyembunyikan keheranan. "Mbak Nara masih kerja? Maksud Bibik, belum resign?"

"Belum, Bik. Dan untung aja aku nggak resign. Setidaknya, aku nggak capek lagi cari pekerjaan sekarang," jelas Nara.

"Apa... Apa Mbak yakin? Mbak lagi hamil muda, kan?"

Meski ada keterkejutan dalam diri Nara, ia berusaha menutupinya dengan senyuman. "Aku baik-baik aja, Bik. Sekarang, aku pamit ya, Bik."

Bik Emi hanya bisa mengangguk pasrah. Tidak mungkin juga ia menghalangi Nara yang akan bekerja. Walau sebelumnya yang ia tau, Nara sudah berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta. Sepertinya ia telah salah mendengar kabar itu.

"Hati-hati, ya, Mbak. Kalau ada apa-apa, cepat hubungi mas Erga," pesan Bik Emi mengiringi langkah Nara yang hendak keluar dari apartemen.

Menghubungi Erga kata bik Emi? Nomor ponsel pria itu saja, Nara tidak punya. Mereka itu hanya orang asing. Dan pernikahan yang terjadi, hanya ada di atas kertas.

Melalui ponsel pintarnya, Nara memesan ojek online yang akan mengantarkannya ke tempatnya bekerja. Tak perlu waktu lama untuk tiba di sana. Hanya sekitar sepuluh menit perjalanan.

Teman-teman Nara menyambutnya dengan senyuman menggoda. Tak sedikit dari mereka yang menanyakan perihal pernikahan Nara sebelum jam kerja dimulai. Bahkan menyinggung soal bulan madu. Padahal mereka sudah tau, jika pria yang menikahi Nara itu berbeda dengan kekasih wanita itu selama ini. Mereka tau apa yang telah menimpa kekasih Nara.

"Terus, orangnya baik nggak, Ra? Sama kayak Ergi? Aku dengar, mereka itu kembar," tanya Elsa.

"Dia ganteng banget, sih, yang pasti. Kamu beruntung, Ra, dia mau menikahi kamu," Bianca menimpali.

Nara hanya memaksakan sebuah senyuman. "Yang pasti, aku nggak mau mengumbar masalah pribadi. Itu privasi kami," katanya.

"Ayolah, Ra. Aku yakin, dia pasti romantis banget. Pria yang pembawaannya dingin, biasanya romantis sama pasangan sendiri," desak Desi.

Nara beruntung saat manajer mereka memasuki ruangan. Yang secara otomatis menghentikan desakan teman-temannya untuk menjawab deretan pertanyaan mereka.

Tapi ternyata, manajer mereka tak sendiri. Bersamanya, ada seorang wanita dengan postur tubuh yang cukup tinggi dan sangat ramping. Body goals setiap wanita, tentunya. Tak hanya tubuhnya, wajah dan penampilannya sangat menarik. Membuat setiap pasang mata dalam ruangan itu tak bisa berkedip saat menatapnya.

"Perkenalkan, manajer baru kalian, Ibu Fransisca Agatha." Demikian kalimat yang diucapkan oleh Demian, manajer mereka yang akan digantikan oleh wanita di sebelahnya.

"Panggil aja, Sisca," lanjut wanita yang dikenalkan Demian itu, tak ingin terlihat berlebihan.

Nara mematung. Nama itu mengingatkannya pada sebuah nama yang pernah digumamkan oleh Erga.

Vote dan komen!

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang