14. Kesepakatan

20.2K 1.3K 58
                                    

Tidak ada pilihan lain bagi Nara, selain meminta ijin untuk tidak masuk kerja hari ini. Dia harus mengurus suaminya yang terbaring di rumah sakit. Tadi, suaminya terjatuh di lorong apartemen. Bahkan masih baru keluar dari apartemen mereka. Kondisi pria itu yang tak sadarkan diri, memudahkan Nara untuk membawanya ke rumah sakit tanpa penolakan.

Manajer sempat menyampaikan pada Nara jika dirinya tidak diijinkan untuk tidak masuk. Tapi alasan yang Nara berikan cukup kuat, sehingga ia diberi waktu satu hari. Lagipula, seharusnya ia masih punya cuti satu hari lagi.

Nara memandangi wajah tenang Erga. Wajah yang biasanya memberi ekspresi cuek, kini terlihat pucat. Jarum infus melekat di satu tangannya.

Pintu ruangan terbuka, menampilkan Endang dan Eddi yang datang bersamaan. Sebelumnya Nara memang sudah menghubungi mertuanya itu dan memberi tahu kamar rawat Erga.

"Ada apa dengan Erga? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Endang. Diperhatikannya putranya yang selama ini tak pernah dirawat di rumah sakit.

"Tadi pagi, badan mas Erga panas banget, Ma. Tapi dia maksa untuk kerja dan terjatuh saat masih baru keluar apartemen. Kata dokter, dia hanya kelelahan," jelas Nara.

Endang menghembuskan nafas lega. Setidaknya, tidak ada hal serius pada Erga. Sebuah ketakutan akan kehilangan anak masih melingkupi dirinya.

Perlahan, Erga terbangun dari tidurnya. Ekspresinya langsung menunjukkan ketidaksukaan, karena ia tau bau khas ini menandakan dirinya sedang berada di rumah sakit.

"Engh, aku mau pulang," pintanya dengan suara serak.

"Mas, kamu harus dirawat dulu. Badan kamu lemas banget. Bisa-bisa nanti kamu pingsan lagi," tolak Nara.

Erga menghembuskan nafas kasar. "Aku nggak suka ada di tempat ini," balasnya bersikukuh.

"Erga, setidaknya tunggu sampai badan kamu lebih bertenaga, baru kita pulang." Kali ini Endang yang membujuk.

"Aku mau pulang, Ma."

"Jangan keras kepala, Erga! Semua ini juga untuk kebaikan kamu."

"Hanya aku yang tau apa yang baik untukku, Ma. Pada kenyataannya, Mama sendiri yang membuat kondisiku seperti ini."

Endang menatap putranya tak percaya. Bisa-bisanya Erga mengatakan hal itu padanya.

"Apa maksud kamu, Ga? Kamu masih mau membahas apa yang tak perlu dibahas?" Endang tau kemana arah pembicaraan Erga.

Erga memalingkan wajahnya. Tak membalas lagi. Tapi kekesalannya sudah memuncak pada ibunya sendiri.

***

Sore hari, Erga memaksa untuk pulang saja. Dia bersikukuh bahwa dirinya sudah sangat baik. Meski rasa pusing masih seringkali menyerang kepalanya.

Tapi tak ada yang bisa Nara lakukan. Ia sendiri tak punya cukup tenaga dan alasan untuk menahan suaminya. Sementara kedua mertuanya sudah pulang dan menyerahkan Erga pada pengawasan Nara sendiri.

Keduanya menumpangi taksi untuk pulang. Tak ada yang bicara, diam seribu bahasa. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri.

Deringan ponsel Erga membuyarkan keheningan di antara mereka. Dilihatnya Sisca yang sedang menelfonnya. Sekilas, Erga melirik ke arah Nara. Ia tidak ingin wanita di sebelahnya menuduh dirinya selingkuh, meski pada kenyataannya memang benar. Lantas jemarinya bergerak untuk menolak panggilan itu. Lalu mengetikkan sebuah pesan dengan cepat.

"Aku akan menghubungimu nanti."

Erga lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku.

Sejenak, Nara menaruh curiga pada sosok suaminya. Tapi tidak menyalahkan Erga sepenuhnya. Ia sadar diri akan posisinya. Hati Erga adalah tempat tertinggi yang tidak mungkin bisa diraihnya.

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Where stories live. Discover now