13. Sakit

22.3K 1.2K 25
                                    

Semua terjadi sesuai dengan keinginan Endang. Setelah makan malam bersama di rumah megah itu, Erga membawa kembali Nara ke apartemennya bersama dengan bik Emi. Erga bahkan mendengar sendiri dan sangat jelas, jika bik Emi diminta oleh ibunya untuk mengawasi sikapnya pada Nara. Meminta bik Emi untuk tak segan melaporkannya.

Keheningan menyelimuti perjalanan selama lima belas menit itu. Seperti hujan yang sudah reda, amarah di antara mereka pun sudah mereda. Tapi hawa dingin terasa menyentuh kulit dan juga hati. Dan mungkin akan lebih parah lagi setelah tiba di apartemen.

Betul saja. Tak ada percakapan yang terjadi hingga mereka memasuki ruangan tempat tinggal mereka.

Nara memilih untuk segera tidur. Sedangkan Erga yang seakan masih enggan untuk berada dekat dengan Nara, memilih untuk duduk di meja kerjanya. Ia membuka laptop, padahal malam sudah semakin larut.

Erga tak benar-benar sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya. Ia hanya mendinginkan suasana hati sampai emosinya betul-betul mereda. Tak ingin keributan berlanjut di antara mereka.

Kedua tangannya memijat pelipis yang terasa sakit.

"Hidup seperti apa yang kumiliki ini?" lirihnya pelan.

"Kesalahan apa yang kulakukan di masa lalu, sampai aku diberi hukuman seberat ini?" Erga masih berucap pelan.

Lelah memikirkan nasibnya sendiri, Erga memutuskan untuk tidur. Tidak di meja kerjanya, tidak di sofa. Ia memilih untuk tidur di kasur, tepat di sebelah Nara yang sudah terlelap. Entah itu pura-pura atau memang Nara sudah benar-benar terlelap. Ia tak mau ambil pusing memikirkan hal itu.

Bayangan wajah Sisca dengan senyuman manisnya melintas dalam benak Erga. Ia merindukan kekasihnya itu. Kekasih gelap, lebih tepatnya. Karena statusnya kini telah menjadi seorang suami, walau pernikahan itu terjadi tanpa cinta.

Salah satu tangannya bergerak ke depan wajah, tepat menutup mata. Ia butuh istirahat setelah hari yang panjang ini. Kedua matanya terpejam, tanpa menoleh ke arah Nara lagi.

***

Saat membuka mata, Nara menemukan jika Erga tidur di sebelahnya. Nafas pria itu masih teratur dan tenang, pertanda jika ia masih tertidur.

Jam di dinding menunjukkan angka lima saat Nara melihatnya. Dia memutuskan untuk turun dan menyiapkan sarapan bersama bik Emi. Dia masih mempunyai waktu untuk melakukannya.

Nara mendapati bik Emi sudah mulai berbenah di dapur. Nara pun tak segan untuk membantunya.

"Apa mas Erga belum bangun, Mbak?" tanya bik Emi di sela kegiatan memasak mereka.

"Belum, Bik. Kayaknya masih nyenyak," jawab Nara.

Selanjutnya, tak ada lagi pembicaraan di antara mereka selain Nara yang menanyakan bumbu yang akan dimasukkan ke dalam masakan.

"Kayaknya Mbak Nara bangunin mas Erga aja sekarang. Takutnya telat nanti. Ini juga udah hampir siap," kata bik Emi.

Nara memastikan lagi dengan melihat jam. Benar kata bik Emi.

Wanita itu pun langsung bergegas menuju kamar. Di sana, didapatinya Erga masih dalam posisinya semula. Tak ada pergerakan sama sekali. Nara memutuskan untuk mendekat.

"Mas Erga! Mas Erga, bangun!" kata Nara. Memberanikan diri untuk mengulurkan tangan, mengguncang tubuh Erga. Kemudian memanggilnya sekali lagi.

"Engh..." Erga bergumam tak jelas. Kedua matanya terbuka perlahan dan menemukan sosok Nara di sebelahnya. Wanita itu yang mengusik tidur lelapnya.

"Mas Erga, bangun! Mas Erga nggak kerja?" ulang Nara lagi.

Pria itu memutar wajahnya, sekedar melihat jam. Tubuhnya terduduk seketika, kala melihat jam yang sudah melewati angka enam, hampir mendekati angka tujuh.

"Agh!" Erga memijat kepalanya yang terasa berat.

Nara menyadari, ada sesuatu yang berbeda dengan suaminya. Tangannya terangkat dan menempel tepat di dahi Erga. "Mas sakit?" tanyanya.

Erga mengusir tangan Nara dari wajahnya. Masih tersimpan rasa marah sekaligus tidak suka pada wanita itu. "Aku nggak apa-apa," elaknya.

"Tapi, Mas, tubuh kamu panas banget," pekik Nara. Mencoba menghalangi Erga yang hendak turun dari kasurnya. "Mas istirahat aja dulu, biar aku minta bik Emi buatkan bubur hangat," lanjutnya.

"Nggak perlu. Aku harus berangkat kerja," tolak Erga. Dalam sekali dorongan, tubuh mungil Nara sudah bergeser dari hadapannya. Ia memaksakan untuk berdiri meski rasa sakit di kepala terlalu menggerogoti.

Nara meringis. Ia tak punya kuasa menahan suaminya. Padahal ia hanya berniat baik untuk mengurus Erga yang sedang sakit.

Sementara Erga masuk ke kamar mandi, Nara memilih untuk berjalan cepat ke dapur. Menemui bik Emi yang masih sibuk dengan rutinitasnya.

"Bik, tolong buatkan bubur untuk mas Erga. Badannya panas banget, tapi maksa buat kerja," pinta Nara.

Bik Emi mengangguk cepat. Kedua tangannya cekatan untuk membuatkan bubur sesuai permintaan Nara.

Tepat saat Erga muncul di dapur -sudah dengan setelan kerja-, saat itu juga bubur buatan bik Emi sudah siap untuk disajikan.

Nara segera membawakannya ke hadapan Erga. Diletakkannya bubur yang masih mengepulkan uap panas di atas meja.

"Mas makan bubur aja. Jangan kopi dulu," kata Nara sedikit takut. Karena tatapan pria itu terlihat tajam, meski wajahnya tak sesegar biasanya.

Ada sedikit rasa malas, tapi Erga menuruti. Terlebih karena bik Emi pun mendukung perkataan Nara.

Sedangkan Nara langsung berlalu. Dia sendiri pun harus segera bersiap untuk pergi bekerja. Jika tidak, ia bisa terlambat nanti. Nara masih sangat menyukai pekerjaannya.

Selang beberapa menit kemudian, Nara sudah muncul kembali. Sama seperti Erga, tampilan Nara pun sudah rapi. Bahkan tas selempang sudah dia bawa ke meja makan. Ia akan segera berangkat.

"Kamu mau kemana?" Erga bertanya dengan wajah bingung. Karena memang ia sama sekali tak tau latar belakang istrinya itu.

"Kerja, Mas." Jawaban singkat dari Nara, tanpa menoleh pria itu. Ia hanya melirik mangkuk berisikan bubur di hadapan Erga, yang ternyata sudah kosong. Pria itu sudah menghabiskan isinya. Dan Nara sangat menyukai hal itu.

"Oh." Erga hanya ber-oh ria. Meski di balik suaranya perasaan tidak suka, entah kenapa.

Nara menyantap sarapan sederhana di hadapannya. Mencoba mengabaikan tatapan Erga padanya. Tapi ia tak bisa. Pada akhirnya harus menatap pria itu juga.

"Sebaiknya Mas periksa dulu, sebelum berangkat kerja. Takutnya, Mas nggak kuat kerja," usul Nara, mengingat kondisi suaminya yang panas.

Erga memalingkan wajah dengan cepat. Ia sangat tidak menyukai usulan itu. Sejak kecil, rumah sakit, klinik, dokter, dan semacamnya merupakan hal yang paling tidak disukainya. Ia lebih baik menderita menahan sakitnya, dibanding harus memeriksakan diri.

Nara menghela nafas. Ia tau jika usulan itu ditolak mentah-mentah.

"Aku cuma nggak mau kalau Mas terjatuh saat bekerja nanti. Apa susahnya hanya memeriksakan diri?"

"Nggak mau!" Erga langsung bangkit dari duduknya. Berjalan menuju kamar, yang Nara sudah tau pasti akan mengambil tas dan langsung berangkat kerja.

Benar saja. Pria itu mengabaikan pesan Nara. Hanya berseru 'aku pergi!' sebelum ia menghilang di balik pintu apartemen.

"Mas Erga memang nggak pernah mau ke dokter, Mbak," jelas bik Emi.

Nara memejamkan matanya. Menenangkan diri sembari berdoa jika suaminya itu akan baik-baik saja. Berikutnya, ia pun pamit pada bik Emi.

Setibanya di lorong apartemen, Nara justru berteriak menyerukan nama suaminya. "Mas Erga!"

Vote dan komen!

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Where stories live. Discover now