22. Bertemu Erga

27.4K 1.3K 4
                                    

Sudah dua hari Nara tinggal bersama sahabatnya. Tapi wanita itu tak mungkin bisa hidup bersama Kimi terus. Bagaimanapun juga, ia harus bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, walau Kimi tak keberatan untuk membantunya.

Nara memutuskan untuk mencari pekerjaan. Apapun itu, tak harus pekerjaan kantoran. Setidaknya ia bisa memenuhi kebutuhan perutnya sendiri. Memang, ia masih punya tabungan dalam jumlah yang lumayan banyak di buku rekeningnya. Tapi tak lantas membuat wanita itu merasa bisa untuk mengandalkan tabungan.

Wanita itu tau, jika keadaannya yang sedang hamil pasti akan sedikit menyulitkan baginya untuk mendapat pekerjaan. Tapi ia tak mau menyerah. Walau harus lelah berkeliling, ia terus mencari.

Hingga pada suatu hari, Nara diterima di salah satu bank swasta dan bekerja sebagai cleaning service. Ia tau pekerjaan itu cukup berat. Namun ia tak mau menyerah.

Di pagi hingga sore hari, Nara akan bekerja. Sementara sore hingga malam harinya, ia bersama Kimi akan menjalankan bisnis online yang Kimi punya. Pun dengan akhir pekan. Semua berjalan dengan sangat baik.

Seperti pagi ini. Berhubung lagi akhir pekan, keduanya asik mengatur stok barang yang Kimi punya. Sekaligus meng-update informasi terbaru di aplikasi yang Kimi gunakan. Tak lupa juga memeriksa pesanan yang masuk sejak malam tadi hingga pagi ini, yang masih belum dikirimkan. Mengemasnya dengan segera untuk bisa dikirim secepatnya. Keduanya telah menyibukkan diri di toko online milik Kimi.

Untuk menjalankan usaha ini, ternyata Kimi menyewa satu kamar, khusus untuk menjadi tempat berbagai jenis pakaian yang ia jual. Tepat di hadapan kamarnya, kamar bernomor lima belas.

"Sebenarnya, kenapa tertarik jualan online, Kim? Apa kamu nggak capek? Tiap hari udah harus kerja di kantor. Malamnya ngurus jualan kayak begini. Nggak pusing apa?" tanya Nara penasaran. Ia yang baru menjalani dua pekerjaan ini merasakan lelah, tentu saja. Ditambah dengan kondisinya saat ini yang tengah hamil.

"Kalau capek, nggak usah dipaksain ya, Ra. Aku juga nggak akan tega, kalau sesuatu terjadi sama kamu," balas Kimi yang masih sibuk mengemas pesanan.

"Apa kamu nggak capek?" Nara bertanya lagi.

"Dulu, pertama kali jalanin emang capek, Ra. Tapi lama-lama jadi kebiasaan juga. Apalagi saat mendapat hasil yang lumayan, jadi keterusan. Nggak bisa berhenti lagi." Kimi pun menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari plastik yang sedang dipegangnya.

"Kamu hebat banget, ya, Kim. Bisa jalanin semua ini. Kalau aku, mungkin akan menyerah sebelum bertarung," kata Nara diiringi kekehan kecil.

"Semua kan tergantung niat juga, Ra. Kamu tau, aku harus membantu orang tuaku. Sebisa mungkin, aku harus menghasilkan uang yang banyak. Tapi aku ikhlas jalanin semua ini. Karena hal itu menjadi dorongan semangat untukku. Dan akhirnya, aku semakin menikmati kehidupan ini. Kalau dinikmati, asik juga."

Nara manggut-manggut mendengar penjelasan Kimi. Ia tau, keluarga Kimi memang pas-pasan. Selama Kimi kuliah pun, gadis itu selalu mengandalkan beasiswa. Dan beruntungnya, dia punya otak cerdas. Jadi bukan masalah besar baginya untuk bisa mendapatkan beasiswa. Bahkan masih sempat mencari pekerjaan part time. Hal yang semakin menambah kekaguman Nara padanya setelah kerapian yang dimiliki sahabatnya itu.

Keduanya kembali berkutat dengan pekerjaan. Entah sudah berapa lama, hingga Kimi akhirnya bersuara lagi.

"Aduh, ada yang kurang nih, Ra."

Nara menoleh pada sahabatnya. "Apa?"

"Sebentar, ya. Ada beberapa nih. Aku catat dulu, biar kita ambil ke pemasok. Sekalian belanja plastik sama lakban. Kebutuhan dapur juga, sekalian aja dibelanjain. Hemat waktu," jelas Kimi yang membuat Nara sedikit meringis. Bukan karena ia keberatan pada usulan Kimi. Tapi ia sedang mengagumi sosok sahabatnya itu. Karena memang apa yang Kimi katakan memang benar.

Nara memilih untuk menunggu beberapa saat. Hingga Kimi menyelesaikan catatan di buku kecil miliknya.

"Ayo," kata Kimi, menyentak lamunan Nara. Wanita itu sedang melihat sebuah dress yang terpasang di manekin. Namun tidak benar-benar mengamatinya. Pikirannya entah melayang kemana.

"Ayo." Nara menyetujui ajakan Kimi. Keduanya pun bersiap-siap, mengganti pakaian dan merapikan penampilan.

Mereka memilih untuk menaiki bus. Dengan barang belanjaan yang banyak, Kimi tak begitu yakin untuk membawa motornya. Ia kasihan pada Nara. Jika saja ia sendiri yang pergi, ia pasti akan memilih untuk naik motor. Akan lebih cepat sampai. Namun tak tega juga jika harus meninggalkan Nara di kos. Ia tau jika Nara pun butuh sesuatu yang bisa menghilangkan kebosanan. Dan hal ini bisa menjadi salah satu cara.

Berkat bus yang ditumpangi, keduanya tiba di salah satu pemasok pakaian wanita. Lokasinya ada di tengah kota, tak perlu waktu banyak untuk mereka mencapainya.

Kimi mengobrol bersama pemilik toko grosir itu, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan rambut yang diberi warna merah menyala. Namun terlihat begitu serasi dengan kulitnya yang putih. Sementara Nara hanya melihat-lihat sekeliling, menunggu Kimi melakukan aktivitas belanjanya.

Hanya butuh sepuluh menit, Kimi sudah membawa dua plastik besar berisikan pakaian yang baru saja ia beli. Bisa begitu cepat, karena Kimi memang selalu belanja di sana. Sudah menjadi langganan.

Mengingat mereka yang masih harus belanja keperluan lain, Kimi memilih untuk menitipkan belanjaannya. Dan akan mengambilnya kembali saat mereka selesai dan akan pulang.

Seperti yang Kimi rencanakan, setelah selesai mencari keperluan lainnya, mereka mengambil kembali pakaian yang akan Kimi jual lalu pulang. Namun kondisi perut yang sudah mulai lapar memaksa keduanya untuk makan lebih dulu. Tak mungkin lagi menunggu hingga tiba di kos lalu makan.

Nara menunjuk ke arah pedagang soto Medan. Ia memang merindukan hidangan satu itu. Salah satu makanan yang sangat disukainya. Ibunya seringkali menyajikan soto Medan di meja makan di rumah mereka.

Tak ada penolakan dari Kimi. Ia menyanggupi keinginan sahabatnya. Terlebih karena kehamilannya, Kimi tentu tak ingin sahabatnya menderita karena begitu menginginkan makanan itu.

Usai makan siang, keduanya pun memutuskan untuk pulang. Sama seperti sebelumnya, mereka menumpangi bus. Walau harus menunggu beberapa saat di halte. Nara memilih untuk menikmati sosis telur yang sebelumnya ia beli untuk dinikmati di kos.

Beruntungnya, mereka tak perlu menunggu terlalu lama. Keduanya bisa tiba di kos lebih cepat dan melanjutkan pekerjaan yang sempat terhenti karena harus belanja terlebih dulu.

Perjalanan mereka diisi dengan gurauan dari Kimi, yang menceritakan pengalaman lucu yang pernah ia alami saat menjalankan bisnis online miliknya. Nara tertawa lepas. Tak menyangka hal menggelikan bisa terjadi pada sahabatnya.

Tepat saat mereka turun dari bus, Nara masih tak bisa menghentikan gelak tawanya. Terlalu lucu untuknya. Meski begitu, barang belanjaan yang mereka bawa tentu saja tak lupa.

"Aku pikir, nggak akan ada orang selucu itu, Kim," kata Nara di sela tawa renyahnya, sembari merapikan kantong belanjaan di tangannya agar lebih nyaman. Tidak berat sama sekali, hanya ukurannya yang lumayan besar.

"Aku aja iya, Ra," timpal Kimi. Keduanya melanjutkan langkah untuk pulang ke kos. Senyuman keduanya masih tetap mengembang, seakan tak ada beban sama sekali.

"Nara?" Suara itu menghentikan langkah Nara. Ia kenal betul suara itu. Segera menoleh dan menemukan pemilik suara yang sudah sebulan ini ia tinggalkan dan coba lupakan. Tapi tak ayal, kehadiran pria itu mampu membuatnya mematung. Yang kemudian membuat langkah sahabatnya pun terhenti.

Kimi pun melayangkan pandangan, mengikuti arah pandang Nara. Ditemukannya sosok Erga, yang memang mudah ia kenali karena memiliki wajah yang sama dengan Ergi, yang pernah Nara kenalkan padanya. Walau ia belum pernah berkenalan dengan Erga sebelumnya. Wajah keduanya sangat mirip.

"Mas Erga?" Nara menggumam. Sedikit tidak percaya, jika suaminya kini ada di hadapannya. Kedua tangan pun menaruh kembali tas belanjaan di atas tanah.

Vote dan komen!

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Where stories live. Discover now