8. Kehidupan Baru

18.4K 1.3K 12
                                    

Ucapan Erga pagi tadi di meja makan bukanlah bualan semata. Pria itu serius, dan kini keduanya telah disibukkan dengan menata pakaian mereka di apartemen milik Erga.

Tak perlu menyiapkan perabot rumah tangga lagi, karena ternyata apartemen itu telah memiliki perabot rumah tangga lengkap. Yang Nara sendiri tak tau, bahkan akan keberadaan tempat tinggal mereka mulai sekarang. Untuk bertanya, Nara tak punya nyali untuk mengungkapkan. Suaminya itu terlalu membosankan.

Siap tidak siap, Nara memang harus sudah siap untuk memulai kehidupan hanya berdua saja dengan Erga.

Tadinya, Nara berpikir jika mereka akan tidur di kamar yang berbeda. Tapi ternyata, apartemen yang memang tidak terlalu luas itu hanya memiliki dua kamar tidur, walau ukurannya tergolong besar. Dan Erga memberikan perintah kalau mereka akan menggunakan satu kamar. Karena kamar satunya lagi ditempati oleh seorang asisten rumah tangga yang selama ini merawat apartemen itu.

Nara pun sudah pasrah, jika malam-malam seterusnya ia akan tidur di sofa. Sama seperti yang terjadi semalam.

"Lakukan aja apa yang ingin kamu lakukan, selama itu tidak mengusikku. Untuk urusan rumah tangga, bik Emi yang akan melakukan semuanya. Ia hanya sedang keluar dan akan kembali sebelum malam." Erga berkata usai menata sendiri pakaiannya di lemari yang berbeda dengan pakaian Nara. Sekedar melakukan hal kecil itu, ia tak mengijinkan Nara. Seakan Nara adalah hal menjijikkan baginya.

"Ini..." Nara menghentikan kalimatnya. Membuat langkah Erga yang hendak keluar kamar pun terhenti.

Erga berbalik, menatap Nara tanpa bertanya. Tapi sesungguhnya ia sedang menunggu kelanjutan dari kalimat Nara.

Nara menggigit bibirnya. Melihat tatapan Erga saja sudah membuat nyalinya menciut.

"Apa nggak ada kasur tambahan, Mas?" Pada akhirnya Nara mencoba bertanya.

Erga seakan tersadar. Pandangannya dijauhkan dari Nara. "Aku akan memesannya nanti." Jawaban itu keluar dari mulutnya, seiring dengan langkah kaki yang diteruskan menuju pintu.

Tak ada yang bisa Nara ungkapkan lagi. Hanya helaan nafas yang terdengar mengisi ruangan. Selanjutnya ia memilih untuk segera membersihkan diri. Mungkin hal itu bisa membantunya untuk menyegarkan pikiran. Setidaknya untuk mendapatkan otak jernih dalam memilah tindakan yang baik untuk dilakukan. Lalu menata ulang kehidupan yang tampaknya mulai berantakan.

Tepat setelah Nara menyelesaikan acara pribadinya di kamar mandi, seseorang datang. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut pada Nara. Langsung mengenalkan dirinya, bahwa ia adalah bik Emi yang tadi telah Erga katakan.

"Mbak yang sabar, ya. Mas Erga memang seperti itu orangnya. Tapi Bibik yakin, jika suatu saat nanti Mas Erga akan menyayangi Mbak dengan sepenuh hati."

Nara hanya memberikan senyuman tipis. Sepertinya wanita di hadapannya ini mengetahui semua yang terjadi dalam hubungannya dengan Erga.

Bik Emi pun menceritakan pada Nara, jika dulu ia juga bekerja di rumah megah milik keluarga Eddi Prastisyo itu. Tapi, setelah Erga membeli apartemen itu beberapa tahun yang lalu, Erga memintanya untuk pindah dan tinggal di sana. Mengurus apartemen sebelum Erga menempatinya. Dan kemungkinan, dia akan tetap berada di sini bersama Erga dan Nara.

"Udah berapa lama Bibik kenal Mas Erga?" Nara bertanya. Ia ingin mengulik kehidupan masa lalu Erga. Sekedar ingin tau.

"Bibik udah di rumah itu sejak mas Erga dan mendiang mas Ergi lahir. Dulu, Bibik-lah yang mengasuh mas Erga dan bik Uni yang mengasuh mas Ergi. Lalu, setelah mereka bertumbuh lebih besar, kami bertugas melakukan pekerjaan rumah tangga. Karena kebetulan, orang yang bertugas untuk itu mengundurkan diri saat mereka berusia lima tahun. Sedikit sulit untuk mencari penggantinya saat itu," cerita bik Emi.

"Jadi, apa mas Erga memang seperti itu sejak kecil, Bik?"

Bik Emi menghela nafas panjang. "Bibik juga nggak ngerti, Mbak, kenapa tiba-tiba mas Erga jadi pendiam dan dingin. Dulu, mas Erga nggak seperti itu. Semuanya berubah saat mereka berusia dua puluh tahun. Bibik nggak tau pasti penyebabnya. Tapi mbak Elisa bilang karena seorang gadis."

Nara terdiam. Pikirannya kembali pada kejadian semalam, dimana Erga menyebutkan nama Sisca hingga beberapa kali. Mungkin gadis itulah yang dimaksud bik Emi juga. Tapi ia tak ingin menanyakannya lagi.

"Mm, Bibik masak dulu, ya, Mbak. Bentar lagi mas Erga akan pulang. Bibik nggak mau kalau mas Erga marah karena makan malam belum siap."

Wanita paruh baya itu beranjak dari duduknya. Ia memungut kembali tas plastik berisikan barang belanjaan yang begitu banyak. Tadi tak sempat ia simpan ke dapur karena mengobrol dengan Nara.

Nara ikut bangkit. Ia ingin membantu bik Emi, walau itu hanya sekedar mencuci bahan makanan. Karena harus Nara akui, ia memang lemah dalam urusan dapur. Mungkin, ia bisa belajar dari wanita yang mulai saat ini akan menjadi teman juga baginya.

"Mbak Nara duduk aja, nggak apa-apa. Bibik nggak mau, kalau Mbak diomelin sama mas Erga," pinta bik Emi saat Nara membantunya mencuci ayam potong.

"Nggak apa-apa, Bik. Aku juga bosan nggak ada kerjaan," bantah Nara.

Bik Emi tak meneruskan. Ia tau, jika Nara akan bersikukuh untuk melakukannya, walau bagaimana ia menolak. Tapi ada kesenangan tersendiri juga bagi bik Emi, kala ia memiliki teman bicara sekarang. Tidak seperti beberapa tahun ini, hanya seorang diri di apartemen.

"Mbak Nara cinta banget, ya, sama mendiang mas Ergi?" Bik Emi bertanya sembari menyiapkan beberapa jenis bumbu yang akan diolah.

Nara menghentikan aktivitas tangannya. Mulutnya terdiam dan tubuhnya mematung. Pikirannya melayang, mengingat kembali kenangan bersama orang yang sangat dicintainya. Mengingat kenangan itu kembali, membuat hati Nara terasa sangat sakit. Sesak dalam dada, membuatnya kesulitan untuk bernafas.

Bik Emi menyadari hal itu. Ia pun turut menghentikan kegiatannya. Satu tangannya terulur untuk mengusap lengan Nara.

"Maaf, Mbak. Bibik nggak bermaksud untuk mengungkit kembali kenangan masa lalu. Bibik tau, pasti sangat berat untuk Mbak. Apalagi mas Ergi adalah orang yang sangat baik," jelas bik Emi dengan perasaan bersalah.

Nara memaksakan senyumannya. "Nggak apa-apa, Bik. Aku baik-baik aja. Walau sebenarnya aku belum bisa menghapus mas Ergi dari dalam hati, aku hanya ingin melanjutkan kehidupan yang memang diciptakan Tuhan untukku. Jika mas Ergi harus pergi lebih dulu, itu berarti kami memang nggak berjodoh."

"Mbak Nara wanita yang baik. Bibik yakin, kehidupan ini pun akan memberikan yang terbaik untuk Mbak Nara. Walau sekarang mungkin sedikit berat, tapi kedepannya pasti akan ada buah yang manis." Bik Emi mencoba menghibur Nara.

"Aku harap juga, Bik," jawab Nara disertai senyuman khasnya yang menampilkan sebuah lubang kecil di pipi kirinya.

"Makan malamnya udah siap, Bik?" Suara Erga tiba-tiba menginterupsi. Membuat kedua wanita itu terdiam.

Nara sendiri merasa waspada, jika Erga mendengar pembicaraan mereka barusan. Dia tak ingin mengungkit perihal Ergi di hadapan Erga. Semua itu hanya masa lalu. Walau ia tau bahwa Erga tak mungkin bisa menempatkannya dalam hati.

"Eh, Mas Erga udah pulang? Sebentar lagi, ya, Mas. Masih Bibik siapkan," balas Bik Emi seraya mempercepat gerakan tangannya.

Erga duduk di salah satu kursi. "Jangan lagi sebut nama Ergi di sini."

Dugaan Nara benar. Dan kini ia dan bik Emi hanya bisa terdiam.

Vote dan komen!

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Where stories live. Discover now