4. Hari Pernikahan

21.3K 1.3K 29
                                    

Hari yang sudah ditentukan pun tiba. Hari itu tidak berubah dari rencana awal pernikahan Nara dengan Ergi. Hari yang hanya berselang delapan hari setelah kepergian Ergi. Yang berubah hanya mempelai prianya saja.

Meski suasana hati para keluarga masih berduka, tapi tak mengurangi hikmat dari acara pernikahan yang digelar di sebuah gedung serbaguna di pinggiran kota Medan itu.

Kedua mempelai tampak sangat serasi saat bergandengan menuju altar pemberkatan. Nara yang sudah didandani sedemikian cantiknya oleh tangan profesional, dibalut dengan gaun pengantin nan indah, pilihannya sendiri. Demikian dengan Erga, mengenakan setelan jas miliknya yang sangat pas untuk postur tubuhnya yang tegap.

Satu hal yang tak disadari oleh orang-orang yang menghadiri acara itu, jika senyum kedua mempelai adalah senyum yang dipaksakan. Hanya mereka berdua yang mengetahui hal itu. Karena sesungguhnya, dalam hati masih ada sedikit perasaan tidak rela.

Janji suci pernikahan telah diikrarkan oleh kedua mempelai. Cincin sebagai tanda pengikat pun telah disematkan di jari masing-masing. Bahkan kedua mempelai telah dipersilahkan oleh pendeta untuk saling mencium sebagai tanda kasih di antara mereka.

Semua berjalan dengan baik. Tak ada kecanggungan sama sekali. Hingga sorak dan tepuk tangan mengiring aksi keduanya. Erga pun menghentikannya. Keduanya kembali pada posisi semula.

Status mereka telah sah sebagai suami istri. Meski Nara tetap meneguhkan dalam hati, jika suaminya saat ini bukanlah ayah dari anak yang tengah dikandungnya.

Erga sendiri larut dalam pemikirannya. Beberapa waktu lalu, ia berkata jika Nara tidak akan pernah menjadi adik iparnya. Tapi siapa yang tau, jika akhirnya Nara malah menjadi istrinya sendiri. Yang lebih membuatnya merasa terpukul, ia bahkan mengatakan jika ia tidak mungkin bisa menerima wanita bekas adiknya sendiri. Tapi sekarang, malah kejadian. Ia terkena karmanya sendiri.

Acara berlanjut dengan sesi foto-foto, sebelum nantinya akan dilangsungkan resepsi sederhana. Mengingat musibah yang baru menimpa keluarga, mereka memilih untuk mengurangi tamu undangan.

Nara tetap memasang senyum di wajahnya, walau ia mulai lelah. Tak hanya itu, terkadang rasa mual datang menyerang.

Mengingat usia janin dalam kandungannya yang masih memasuki dua bulan, hal itu memang sangat wajar. Ia masih berada dalam tahap mabok karena ngidam. Ia hanya sangat beruntung, saat ia tak mengurus diri, janin dalam kandungannya tetap bertahan. Ia tak kehilangan calon bayinya, meski saat ini ia menyesal telah melakukan hal berbahaya untuk janinnya.

Nara mengusap perutnya yang masih rasa. "Baik-baiklah, Nak. Jangan hukum Ibu dengan rasa mual ini. Setidaknya, sampai acara ini selesai," gumam Nara dalam hati.

"Mbak Nara nggak apa-apa?"

Elisa yang menyadari perubahan ekspresi Nara langsung datang menghampiri kakak iparnya di pelaminan. Sedangkan Erga yang duduk di sebelah Nara, sama sekali tak menyadari hal itu. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Nggak apa-apa, Sa. Tolong ambilkan aku air minum, ya," pinta Nara pada adik ipar yang selalu mendukungnya.

Gadis itu berlari cepat untuk memenuhi keinginan Nara. Tak ingin mengecewakan wanita yang tengah mengandung calon keponakannya.

Hanya berselang dua menit, hingga Elisa muncul lagi dengan segelas teh hangat di tangan. Tidak tega jika harus memberikan minuman kemasan yang dingin pada Nara.

"Minumlah, Mbak," katanya sembari menyerahkan teh hangat pada Nara.

Erga hanya berdiam diri di sebelahnya. Tampak tak peduli dengan keadaan Nara. Tak ada yang tau, apa yang sedang dipikirkan oleh pria itu. Pria yang seharusnya tengah berbahagia karena menikah, ini malah tampak biasa saja. Cenderung tak peduli.

Saat teman-temannya datang dan bersenda-gurau tentang malam pertama pun, Erga terlihat enggan untuk menanggapi. Ia hanya memberikan senyuman paksa, yang tak disadari teman-temannya.

Endang memandangi wajah putranya dari kejauhan. Ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Erga. Endang mencoba menebak, apakah mungkin Erga tidak menyukai pernikahan ini terjadi?

Tapi kemudian, Endang ingat kembali hari dimana Erga menyetujui pernikahan ini. Tampaknya, putranya itu tulus mengatakannya.

Kalau dipikirkan ulang, Nara memang wanita yang cantik. Kulit bersih kuning langsat, wajah oval dihiasi hidung mancung yang sangat pas. Mata bulat dengan alis tebal natural. Bibir tipis yang murah senyum. Di pipi sebelah kiri, terdapat lesung pipi yang akan terlihat jelas jika wanita itu tersenyum atau tertawa. Rambut hitam panjang sepunggung, dengan bagian bawah yang ikal. Tubuhnya mungil dan ramping.

Sekilas, Nara memang tampak seperti anak sekolahan. Namun wanita itu sudah dewasa di usianya yang sudah menginjak dua puluh empat tahun. Bukan hanya umur yang dewasa, tetapi sikap dan pembawaannya pun sudah dewasa.

Secara keseluruhan, tak ada hasil permak di tubuh Nara. Semuanya natural, sebagaimana yang diciptakan Tuhan untuknya. Namun ia tetap tak mengabaikan perawatan tubuh. Menunjukkan jika ia begitu menyayangi dirinya sendiri.

Itu sebabnya, Endang begitu menyukai sosok Nara. Sosok yang bersahaja namun tetap tak mengabaikan penampilan dengan merawat tubuh. Jaman sekarang, sulit menemui wanita yang tampil apa adanya seperti Nara. Ditambah sikap sopan.

Menurut Endang sendiri, tidak akan sulit untuk Erga bisa jatuh cinta pada Nara. Apalagi dia ketahui putranya itu belum menemukan sosok spesial dalam hidupnya. Itulah alasan lain bagi Endang tetap menginginkan Nara menjadi menantunya. Dibalik alasannya untuk mempertahankan calon cucu pertama yang bertumbuh di rahim Nara.

Hanya itulah yang sedikit Endang sesali. Bagaimana bisa anaknya yang terkenal sangat baik dan penurut, bisa melakukan kesalahan yang membuat aib keluarga seperti itu. Dengan wanita yang baik pula.

Pandangan Endang tertuju pada Nara yang tampak tak begitu sehat. Tak hanya sekali dua kali Nara terlihat mengusap perutnya yang masih rata. Terkadang ia menangkap jika Nara sedang mual.

Hal itu memaksanya untuk mendekati Nara, sekedar memastikan keadaan wanita yang kini telah berstatus menantunya itu.

"Kamu baik-baik aja, Ra?" tanya Endang, meneliti wajah Nara dengan seksama. Tak bisa disembunyikan kekhawatiran di wajahnya.

"Baik-baik aja, Ma. Hanya sedikit pusing," jawab Nara.

"Kalau memang nggak kuat, kamu bisa istirahat dulu. Kita bisa menyelesaikan acara ini lebih cepat. Masa sekarang ini, memang kamu nggak boleh kelelahan."

"Aku bisa kok, Ma. Aku masih kuat. Nggak enak juga kalau harus nyudahin pesta padahal tamunya masih menikmati," tegas Nara. Namun tak bisa dipungkiri, jika jawaban yang ia berikan tak sesuai dengan keadaannya kini.

"Nggak usah terlalu memikirkan perasaan orang-orang. Pikirkanlah kebaikan kamu sendiri. Kalau memang lelah, istirahat aja dulu," bujuk Endang.

Nara memberikan senyuman terbaiknya. "Iya, Ma. Aku baik-baik aja. Kalau memang butuh istirahat, aku pasti akan istirahat kok," balas Nara.

Sementara di sebelahnya, Erga seakan tak suka dengan perhatian ibunya pada Nara. Pria ini sepertinya tak menyukai sikap manja, saking dingin sikapnya.

"Ga, kamu lebih perhatian lah pada Nara. Jika terjadi apa-apa padanya, kamu yang harus bertanggung jawab. Jangan mengabaikan Nara yang udah menjadi istri kamu," pesan Endang pada putranya. Yang hanya ditanggapi dengan bola mata yang memutar, malas.

Endang mengusap lengan Nara. "Kamu yang sabar ya, Nak," pesannya, sebelum akhirnya ia meninggalkan pasangan yang baru sah menikah itu.

"Sepertinya akan sedikit melelahkan, menikah dengan pria tak berperasaan ini. Akan kebanyakan makan hati," gumam Nara dalam hatinya. Delikan mata kesal ia tujukan pada Erga, walau hanya sesaat. Takut jika pria itu menyadarinya.

Tapi apa yang dia pikirkan mungkin ada betulnya. Akan lebih baik jika nanti mereka bersikap biasa saja, seolah tak ada ikatan apa-apa di antara mereka.

Ya, memang harus seperti itu!

***

Vote dan komen!

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Where stories live. Discover now