(16) Dia Zara

406 108 21
                                    


Ali Rasyiq

Saat kecil hingga sekarang, ketika ada seseorang yang bertanya siapa namaku, maka akan kujawab dengan nama lengkap. Membiarkan siapapun memilih dari tiga kata itu untuk dijadikan nama panggilan untukku.

Kudengar nama adalah doa. Karena itulah kuputuskan untuk tidak memilih. Abhati; abah berkata jika ini adalah nama dari bahasa sansekerta yang berarti cahaya. Ali Rasyiq; diambil dari nama kakek buyutku.

Keduanya memiliki makna yang berat untuk dipikul. Apa sejatinya cahaya itu? Apa kelak aku mampu menjadi cahaya? Apalagi menyandang nama kakek, yang kutahu seujung kuku pun tidak mampu seperti dirinya.

Hanya satu dua yang memanggilku Abhati karena kata itu sedikit sulit diucapkan. Abah yai Amar memanggilku Rasyiq dan mayoritas santri mengikuti memanggilku demikian. Sedangkan sejak kecil hanya Abah dan ibu memanggilku Ali.

Jika benar nama adalah doa, aku sangat berharap dapat mengindahkannya, Lahir batin.

Mulai menapaki dunia Pesantren sejak lulus SD. Tepat saat masuk Tsanawiyah.

Menginjakkan masa remajaku di Pesantren adalah keinginan yang kupinta pada Abah sejak lama. Karena nilai-nilai Pesantren yang Abah tuangkan kepadaku sejak kecil, membuatku semakin bersemangat ingin mengikuti jejak beliau.

Aku tumbuh dari keluarga sederhana. Anak tunggal. Lahir dan tinggal di kota Semarang. Abah memang tidak memiliki Pondok Pesantren, namun banyak yang memanggilnya Pak Yai karena beliau sering memimpin Majelis Mengaji di daerah kami.

Aku memilih Pesantren yang berada di daerah dingin, tepatnya di wilayah pegunungan, Wonosobo. Suasana sekaligus ke-ramah tamahan masyarakatnya yang konon akan membuat siapapun jatuh cinta pada pandangan pertama.

Bukan hanya karena itu, sebab rasa menggebuku ingin meneladani Abah juga menjadi alasan mengapa aku nyantri di Pesantren yang kini diasuh oleh Kiai Amar. Pesantren besar yang dulu menjadi tempat Abahku menimba ilmu.

Semua hasrat muncul secara rohani, mungkin dari menyaksikan dan mengalami dengan segenap jiwa raga seutuhnya, bahwa diri hanya 'alat' atau 'cermin' dari kedermawanan Ilahi. Walau hakikatnya Allah maha suci dari membutuhkan alat titik tentu ini sangat hanya bisa dicapai ketika orang bersedekah dengan cara menyertakan ingatan dan kesadaran tentang Tuhan dalam segala peristiwa yang berlangsung di dunia, termasuk gerak gerik lahir batin.

Mungkin sedekah dan zakat pada dasarnya adalah tindakan kedermawanan yang mengandung unsur berbakti atau berkhidmat untuk menolong orang lain. Orang-orang yang berkhidmat dan membaktikan hidupnya demi orang lain adalah orang-orang yang belajar dan berjuang untuk meyakini sepenuh hati sampai bisa merealisasikan Tajalli sifat-sifatnya, baik itu sifat 'Jalal' maupun terutama sifat 'Jamal' nya.

Lalu mengapa berkhidmah di Pesantren? Dan apa hubungannya?

Lagi lagi kutemukan jawaban dari Abah, jika sejatinya itu berasal dari sifat Menghamba- nya setiap insan. Selaku Ulama dan Kiai adalah pemegang estafet agama yang paling matang, mengabdikan diri padanya bukanlah sesuatu yang tabu dan menyimpang. Sejak dulu, bahkan Sahabat-sahabat Nabi melakukan pengabdian yang sama pada Rasulullah. Bahkan sampai pertumpahan darah dan penghargaan harga diri untuk sebuah tahta 'Pengabdi Setia' Nabi akhir Zaman. Bahkan kemuliaan itu terus berlanjut hingga detik ini. Terus di tiru dimanapun. Itulah mengapa budaya spiritual Pesantren berkembang pesat dari tahun ke tahun. Seperti halnya islam Rahmatal Lil 'alamin yang telah diajarkan Nabi yang memenuhi seluruh pelosok Bumi.

NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now