(15) Tenang Seperti Senja

378 105 14
                                    

Jika manusia mau berpikir jauh, sejatinya mereka hanyalah perlu untuk mengikuti sayembara.

Perlombaan yang disebut-sebut sebagai Sayembara Dunia. Bapak selalu menyebutnya sebagai Fastabiqul Khoirot.

Ya. Berlomba-lomba untuk kebaikan. Dan hanya Allah-lah yang menjadi jurinya. Allah yang Maha Adil dan Maha mengetahui kerja keras Hamba-Nya untuk meraih menang.

Lalu apa? Mengapa semua orang mencari kemenangan dalam lomba ini untuk mencari nama? Padahal nama manusia hanya akan berakhir pada nisan? Mengapa ingin menang beralasan mencari kebahagiaan dunia? Padahal dunia bukanlah tempat peristirahatan terakhir?

Kaki jenjangku yang terbalut Gamis panjang terus melaju di lorong gedung, menuju ruangan yang tertera di kertas lomba. Aku benar-benar tak percaya jika sebentar lagi perlombaan akan dimulai sedangkan pikiranku masih bergelut dengan materi Alfiyah dadakan yang barusan kupelajari.

Karena Duta kami berbeda, ruang lombaku dan Nida terpisah dengan jarak yang terbilang jauh. Dia digedung B dan aku di gedung A. Setelah dari Masjid, kami berpisah dan menuju lokasi masing-masing.

Ruangan Duta Arab bertempat di lantai 5 gedung, membuatku harus menaiki puluhan anak tangga. Beberapa kali aku nyaris jatuh tersandung kakiku sendiri.

Langkahku terhenti di depan pintu besi besar. Kuhembuskan nafas yang terengah-engah, menenangkan diri setelah berlarian bak Siswa yang terlambat masuk kelas.

Telingaku mendengar suara ramai dari dalam ruangan di depanku. Sepertinya semua peserta sudah hadir. Kulihat kertas yang tertempel di dinding pintu, disana tertulis 'Ruang Lomba Duta Arab'.

Sekali lagi kuhela nafas dalam-dalam, Merasa lega tidak salah ruang. Jika sampai nyasar, bisa jadi akan sangat terlambat. Dan jika sampai itu terjadi, pasti akan semakin repot sekaligus memalukan.

Sebelum masuk, mataku meniti sekeliling lorong lantai 5 ini. Tidak terlihat siapapun, terutama seseorang yang kukenal. Sepertinya urusan Mobil benar-benar serius karena Kang Wisnu belum juga datang.

Baiklah. Tidak masalah. Saat masih MA dulu, aku sudah pernah mengikuti perlombaan individu seperti ini— meski bukan lomba Duta Bahasa. Saat itu aku juga tidak di dampingi Guru.

Ada momentum dimana seseorang akan mengatakan "Experience is the best teacher"pengalaman adalah guru terbaik. Mungkin saat inilah momen tersebut. Aku bisa belajar dengan pengalaman yang ada.

Setelah berhasil masuk, mata berkacamataku disambut dengan pemandangan sebuah Aula besar yang sudah dipadati manusia-manusia hebat se-Jawa tengah. Semua yang berada didalam sini memakai pakaian formal. Tertulis di pin baju mereka asal daerah dan nama Pesantren masing-masing. Ternyata banyak kota-kota besar yang mengikuti lomba ini.

Aku segera duduk di kursi peserta yang sudah disediakan. Sekuat mungkin menenangkan diri yang tentu saja minder setelah melihat pemandangan ini. Tak jauh dari tempatku duduk, terlihat beberapa kursi yang dikelompokkan menjadi satu. Disana tertulis 'Kursi Pendamping'.

Aku tesenyum tipis, mungkin aku adalah salah satu yang datang tanpa pendamping. Tidak masalah, semoga semua berjalan lancar.

Acaranya dimulai..

Kulirik jam tangan yang melingkar di tanganku yang terbalut Handshock hitam, jam 10 siang. Sepertinya giliranku masih lama karena nomor undi yang tadi diberikan padaku tertulis 23, giliranku sepertinya masih lama.

'Hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang.'

Kuhela nafas panjang.


***

NAYANIKA ZARA✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora