(14) Teman Lama

365 109 4
                                    

Hari yang tidak pernah kutunggu sekaligus hari yang paling ku khawatirkan tiba.

Hari perlombaan Duta Bahasa.

Saat ini aku dan Nida sedang berada di ndalem— di Ruang rias Ummik lebih tepatnya. Jam dinding menunjukkan pukul 8 pagi, kami sedang bersiap-siap, merapikan diri.

Sejak menuju ke ndalem setengah jam lalu, aku tak hentinya merasa haru. Ummik sangat baik. Beliau memberi dan memilihkan kami berdua pakaian yang bagus untuk acara lomba hari ini. Kami sudah seperti putri kandung beliau sendiri.

Aku dan Nida memakai gamis dan jilbab seragam. Hanya berbeda warna. Milikku berwarna biru sedangkan Nida memakai warna soft pink, terlihat sangat cocok dengan wajah kalemnya.

"Sangat cantik, Ning!" Ucapku pelan. Berusaha sebaik mungkin tetap berprilaku sopan karena ummik sedang bersama kami saat ini. Nida sedang bercermin. Sudut bibirnya melengkung manis sambil mengangguk kepadaku.

"MasyaAllah, anak-anak gadisku Ayu tenan! Wes koyo kembang desa. Semoga lombanya lancar tur barokah ya nduk.." Ummik ikut tersenyum sumringah melihat kami selesai bersiap. Beliau terlihat sangat senang kami memakai gamis zaman muda beliau dulu.

"Matur nuwun sanget, Ummik." Jawab kami balas tersenyum sambil menunduk ta'dzim.

Aku meraih tas punggung yang berukuran kecil, terisi alat tulis, buku catatan dan beberapa Kitab kuning. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, kami keluar dari ndalem dan bersama-sama segera menuju halaman pondok. Ummik matur jika Abah sudah menunggu kami disana.

Saat sudah sampai halaman, aku terperanjat.

Lihatlah!

Seluruh santri ikut menyaksikan keberangkatan kami hari ini. Mataku terbelalak sambil menyapu pandangan menuju keramaian santri di sekeliling halaman dan serambi masjid. Santri putra maupun putri terlihat dari berbagai tempat. Semua meta memerhatikan langkah kami yang saat ini berjalan dibelakang Ummik, menuju mobil putih di tengah halaman. Disana sudah terparkir mobil Pajero milik Pesantren ini. Biasanya digunakan untuk acara-acara penting atau untuk mengantar santri yang sedang sakit untuk berobat.

Setelah memerhatikan sekeliling, mataku beralih tertuju pada Abah Amar yang kini tengah berdiri di samping mobil, senyum hangat beliau terlihat ketika kami datang.

Saat sudah berjarak tak jauh dengan Abah, aku juga menyadari dua orang pembimbing kami yang turut menunggu dibelakang Abah— Kang Rasyiq dan Kang Wisnu. Kali ini mereka memakai pakaian formal— kemeja putih yang dilapisi dengan jas berwarna hitam. Terlihat ber-damage dari ukuran fashion santriputra yang biasanya hanya memakai outfit sarung dan kaos oblong.

"Piye bah? Anak gadisku ayu, to?"

"Iya ternyata. Dan Ummik jadi terlihat awet muda." Abah tersenyum hangat, sedangkan Ummik sukses tertawa sebab gurauan Abah yang tersirat makna roman yang tak biasanya beliau tunjukkan. Semua santri yang melihat romantisme singkat itu ikut tersenyum lebar. Baper untuk kesekian kali.

Aku dan Ning Nida yang pastinya mendengar jelas, refleks ikut tersenyum sambil menundukkan kepala. Kami sudah biasa melihat itu namun tetap saja itu hal yang menghangatkan hati siapapun untuk pasangan yang sudah sepuh seperti Abah dan Ummik. Suasana pagi ini begitu menenangkan. Membuat gugupku sedikit berkurang.

"Nduk Nida dan Zara, jangan lupa tata niat.. Jangan putus Sholawat Nabi!" Abah mengingatkan lagi sebelum kami menuju pintu mobil. Kami balas pesan itu dengan mengangguk bersamaan.

Sebelum aku sempurna naik mobil, kilat mataku menemukan sosok Aini yang sedang melambaikan tangan dari teras Aula Putri. Di sekitarnya pula terdapat banyak teman-teman kamarku yang juga ikut berseru-seru menyemangati. Tanganku terangkat, ikut melambaikan tangan kikuk.

NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now