43 : Terakhir kali

5 0 0
                                    

"Kita disini, Rin! Kita ada disini buat nemenin lu! Kita bareng-bareng buat bahagiain dan ngejagain lu! Kita sayang sama lu!" jelas Raka.

Aku menatapnya, agak terkejut bahwa dia yang bicara seperti itu padaku.

"Bohong! Kalian semua pasti udah tau kan soal ini? Kalian ngejebak gua biar gua gak bahagia kan?" tuduhku tapi Bintang menggeleng.

"Gak ada yang gitu, Rin! Dan kita semua sama, kita gak tau semua itu! Fasha, satu-satunya yang tau tentang ini!" jelas Bintang.

Aku menggeleng, menyanggah semuanya di kepalaku. Aku terus menangis dan aku menjadi begitu panik, tidak bisa berpikiran jernih.

"Gak mungkin! Apa jangan-jangan kalian emang berencana buat ngehancurin gua kan?!" bentakku dan Antariksa berdiri, mendekapku tapi aku memberontak dan ia semakin mengeratkan dekapannya.

Aku diam karena merasa lelah, berontak sekuat apapun tidak akan membuat Antariksa melepaskan dekapannya. Antariksa mengusap kepalaku, turun ke punggung dan menepuk bahuku berulang kali. Ia membiarkanku menangis dan menjerit sekuat mungkin.

"Gua tau lu udah banyak menderita,"

"Gua tau lu udah banyak berjuang, bangkit,"

"Gua tau kalau lu hebat dan kuat,"

"Gua bangga,"

Antariksa melepaskan dekapannya, membuatku menatap matanya, "Rin,"

"Gua harap lu mau maafin gua! Maafin kita semua!" ucapnya pelan.

Aku diam.

"Semuanya, gak seperti yang lu pikir, Rin!" ucap Jiro dengan suara lembut.

Aku terdiam. Masih sedikit ada rasa takut dan tidak mau menerima. Aku merasa begitu ragu saat ini. Antara pergi atau memaafkan.

Tapi aku tidak bisa melakukannya, tidak dengan janjiku pada orang tuaku. Aku tidak bisa memilih pilihan kedua sekalipun hatiku memilihnya.

"Gua gabisa,"

"gak akan pernah bisa!"

14 pasang mata disana menatapku terkejut, namun salah satunya tidak. Ia lebih memilih mengajukan pertanyaan padaku.

"Kenapa?"

Aku terdiam, meremas tali tas ranselku. Meyakinkan hati bahwa ini adalah hal yang benar. Hatiku pasti akan terluka sesudahnya.

"You can't possibly understand the reason, because you've never been in my position,"

Aku beranjak bangun, hatiku sedikit merasa sakit. Tapi tidak bisa, aku tidak bisa melakukan apapun lagi. Ini sudah harus jadi keputusan terbaikku.

"You never tried. Trying to make us understand your position,"

Aku terdiam. Bukan tidak ingin mencoba. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Tidak akan pernah. Aku tidak mau membuka luka yang selalu kupaksa untuk terlihat sembuh.

"Sudah!"

"Gak perlu dipaksa!"

Aku menatap pemimpin mereka dengan tatapan mendalam. Dia selalu menjadi orang yang mengerti tentang situasi seperti ini. Selalu bersikap dewasa dan mau memahami pendapatku.

"Arin, lu udah kaya keluarga disini! Gapapa kalau lu nolak, sampai kapanpun pintu rumah ini bakal terus terbuka buat lu,"

Mataku kini terarah pada laki-laki berhoodie abu-abu yang sedari tadi menundukkan kepalanya, tidak menatapku seperti biasanya. Ia pasti kecewa. Ingin rasanya aku berlari dan mengatakan bahwa semua perjuangannya berhasil saat ini.

Re-writeWhere stories live. Discover now