40 : Keputusan Sulit

4 0 0
                                    

Arin POV

Aku turun dari taksi dengan terburu-buru. Tidak peduli hujan sedang begitu derasnya dan aku hanya memakai satu kaus tipis berwarna putih dan celana jeans serta tas selempang putih.

Aku baru saja mendapatkan telepon dari rumah sakit, mengabarkan jika Kak Dena masuk ke rumah sakit. Aku langsung panik dan langsung pergi lagi, padahal aku baru saja pulang dari toko buku.

Aku berlari ke ruang UGD tapi langkahku berhenti karena melihat Arthur dan yang lainnya disana. Bahkan ada Anum.

Nafasku memburu. Ini bukan karena mereka kan? Pikiran buruk memenuhi isi kepalaku, jika ini lagi-lagi karena mereka, aku benar-benar tidak tau harus apa.

Dokter keluar dari UGD, "Dok, gimana Kak Dena?" tanyaku panik.

"Dahinya sedikit sobek dan tangan kirinya terkilir saja, tidak terlalu parah tetapi harus tetap di rawat untuk 2 hari sampai kondisinya benar-benar pulih," jawab Dokter kemudian ia pergi.

Aku menatap mereka dengan sengit, "Apa yang udah lu lakuin?!" tanyaku dengan suara meninggi.

"Lu apain kakak gua?!" tanyaku lagi dengan penuh amarah.

Tubuhku bergetar, aku mengepalkan tangan begitu erat hingga memutih kemudian menunjuk Fasha, "Gua udah bilang, pergi jauh-jauh dari gua dan keluarga gua!!" bentakku.

Kepalaku pening, "Pergi! Jangan ada disini!" ucapku lalu berjalan masuk, meninggalkan mereka.

Aku melihat Kak Dena terbaring, dia masih memakai baju kantornya dengan kepala diperban dan tangan kirinya di gips.

"Kak!" panggilku.

Kak Dena membuka mata dan tersenyum, "Hai!" sapanya.

Aku menggeleng, menyentil dahinya, "Masih sempet-sempetnya nyapa!" ucapku kesal.

Dia terkekeh kemudian menatapku dalam, "Kakak denger ucapan kamu sama mereka tadi di depan!" ujarnya dan aku terdiam.

Aku masih menyembunyikan pertengkaran itu dari Kak Dena, hanya tidak tau apa yang harus kulakukan jika Kak Dena tau.

"Jangan seperti itu! Kenapa kamu gak coba buat dengerin penjelasan mereka dulu?" ucapnya.

Aku menggeleng, "Gak bisa! Susah kak! Kakak gak ngerti!" jawabku.

Kak Dena menggeleng, "Kakak ngerti, karena itu kakak minta kamu untuk dengerin dulu penjelasan mereka!" ujarnya sembari mengusap tanganku.

Aku menggeleng, "Udah aku coba kak! Tapi kejadian malam itu, kondisi Eren yang luka parah dan semuanya keinget di kepala aku!" jawabku.

Aku juga tidak bisa seperti ini, menghindari mereka di sekolah, bermain kucing-kucingan bahkan berusaha untuk tidak menanggapi mereka ketika berpapasan di keramaian. Semua penghuni sekolah bahkan tau jika kami bertengkar.

"Arin masih belum bisa kak! Ketemu Fasha sama aja ngebuat Arin inget sama Kak Arsya, dan inget sama Kak Arsya ngebuat Arin benci karena dia gak nolongin Kak Eren saat itu!" jelasku.

Kak Dena mengusap puncak kepalaku, "Seberat itu ya? Maaf kakak gak paham sama kamu, tapi kakak cuma mau kamu bahagia!" ujar Kak Dena dan aku mengangguk.

"Aku juga kak! Aku mau bahagia, tapi buat berdamai kayanya aku masih belum bisa!" ucapku dan Kak Dena mengangguk.

Aku mencium pipi Kak Dena, "Kak, aku harus pamit sekarang! Hari ini, Mama sama Papa pulang! Aku harus di rumah sebelum mereka sampai!" ujarku dan Kak Dena mengangguk.

"Jangan kasih tau mereka soal kakak ya? Biar mereka gak khawatir!" ucap Kak Dena dan aku mengangguk sembari keluar dari UGD.

Aku kembali bertatapan dengan 13 pasang mata yang rupanya masih belum pergi sejak aku mengusirnya tadi.

Re-writeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang