5 : Pindahan

7 0 0
                                    

"Makasih ya Num!" ucapku dan Anum mengangguk sembari menyodorkan sebungkus minuman boba yang entah sejak kapan ada di motornya.

"Tadi gua beliin bentar, buat ngademin otak lu!" ucapnya dan aku mendengus namun tetap aku terima sebagai tanda terimakasih atas niat baik Anum.

"Gua balik ya, kabarin kalau nanti butuh sesuatu!" ucap Anum dan aku mengangguk.

Setelahnya, Anum pergi dan aku masuk ke dalam Gelanggang.

Rasanya kepalaku masih panas karena tadi bertengkar kembali dengan Jessi dan komplotannya lalu dimarahi oleh Bu Sisi.

Pokoknya hari ini menyebalkan sekali dan Anum akhirnya menawarkan tumpangan untukku.

Kak Tia menatapku bingung, "Halo kak Shizuka!" sapaku dan kak Tia menepuk bahuku cukup keras.

"Kenapa mukanya ditekuk begitu?" tanyanya dan aku menggeleng. Menaruh tasku di kursi kayu dan mengambil baju ganti.

"Biasa," jawabku singkat lalu pergi untuk mengganti baju. Semuanya berjalan seperti biasa. Setelah berganti, aku segera ikut pemanasan dan akhirya mulai bermain.

Hingga semua anak klub menoleh ke arah yang sama, ke asal suara yang mengganggu. Misha ada disana bersama seorang laki-laki dengan seragam SMAnya. Terdengar pertengkaran di antara mereka.

"LO YANG GOBLOK!"

Aku menoleh, menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak suka. Aku pernah belajar, jika laki-laki berkata kasar atau berlaku kasar pada perempuan, laki-laki itu tidak gentle.

Setelah mengucapkan kata kasar itu, ia menarik tangan Misha cukup keras hingga perempuan manis itu tertarik dan jatuh ke tanah.

Pertengkaran mereka sudah menjadi pusat perhatian anak klub bulutangkis, bahkan semua orang yang ada di lapangan futsal.

"JANGAN NGELUNJAK BISA?! IKUT AJA!!"

Laki-laki itu masih menarik tangan Misha yang saat itu posisinya masih terjatuh di tanah, jadi ia menyeret Misha. Dan aku tidak bisa tinggal diam disaat Misha memberontak tidak mau.

Aku mencekal tangan laki-laki itu dan melepaskan tarikan tangannya. Setelah itu aku menatap laki-laki brengsek dan kasar ini dengan tatapan dingin dan laki-laki itu menamparku. Misha bahkan sampai tercekat.

Tidak tinggal diam, dengan spontan aku membalas tamparan itu dengan pukulan telak di pipi laki-laki itu hingga ia terjatuh ke tanah. Aku menatap Misha, "Gimana bisa anak baik kaya lu pacaran sama laki-laki brengsek kaya dia sih?" tanyaku padanya.

Misha menunduk dan bahunya bergetar, "Rion, ayo putus!" ujarnya sembari sesenggukan. Aku menarik Misha ke dalam pelukanku, memperhatikan pergelangan tangannya yang memerah.

Laki-laki brengsek bernama Rion itu menatapku dengan sudut bibirnya yang robek. Aku bahkan sampai kebingungan, aku sekencang itu memukulnya?

"Sialan! Lo bakal nyesel, bangs*t!"

Rion langsung pergi dan meninggalkan Gelanggang dengan wajah memerahnya. Sedangkan Misha menangis semakin deras, pelatih Tia menghampiri kami berdua.

"Pipi kamu gapapa?" tanyanya dan aku mengangguk. Kini perhatian pelatih terarah pada Misha.

"Misha, kita duduk dulu yuk! Minum sebentar ya!" ajak pelatih Tia sembari mengambil alih Misha dari pelukanku.

Aku mengusap pipiku, agak perih, tapi tidak apa-apa. Dan lagi-lagi tatapanku terarah pada anak-anak yang pernah tak sengaja berpapasan denganku.

12 laki-laki dan 1 perempuan yang berambut pendek itu menatapku lalu kuputuskan tatapan kami.

Mereka aneh.

Sejak pagi-pagi sekali aku sudah berada di kursiku dengan wajah lelah seolah-olah aku tidak tidur semalaman. Dan kenyataannya, aku memang tidak tidur, lebih tepatnya hanya bisa tidur sekitar 2 jam dan sisanya mataku terus terbuka.

Entah ada apa. Perasaanku hanya tidak tenang, tidak seperti biasanya. Ditambah tadi pagi, Mama mengomel tanpa alasan dan kuputuskan untuk langsung berangkat tanpa sarapan, seperti yang biasa kulakukan.

Tapi aneh, sudah pukul 7 pagi, 30 menit lagi bel masuk akan berbunyi namun isi kelasku masih sepi. Maksudku, hanya segelintir orang saja yang sudah duduk di kursi mereka.

Aku menoleh pada Anum yang baru datang, "Tumben," ucapnya melihatku sudah duduk di kursiku dan aku hanya bisa menyengir tipis.

"Gak ikutan di parkiran sekolah?" tanya Anum dan aku menatapnya bingung.

Anum mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya dan menaruhnya di hadapanku, "Itu, anak-anak di sekolah ini terutama kaum hawa lagi pada di parkiran! Kayanya bakal ada sekelompok anak yang pindah kesini dan kayanya mereka itu semacam geng motor gitu!" jelas Anum panjang lebar.

Aku mengerenyit heran, "Disini masih ada geng motor kaya gitu?" tanyaku heran. Ya aku berusaha berpikiran positif dengan membayangkan hal baik dari 'geng motor'.

Anum mengendikkan bahu, "Mungkin, gak tau!" ucapnya acuh. Ia membuka kotak bekalnya dan menatapku, "Mulai hari ini, gak perlu ke kantin! Gua bawain sarapan!" ucapnya dan aku menatapnya kaget.

"Buruan ambil!" ucapnya kesal dan aku segera mengambil sepotong sandwich lalu langsung kulahap.

Dalam hati, aku merasa khawatir. Jika memang anak-anak pindahan itu memang merupakan geng motor, kuharap aku tidak akan pernah sekalipun kenal mereka. Atau aku berharap jika mereka bukanlah seangkatan denganku. Intinya, aku tidak mau mengenal mereka sedikitpun.

"Kenapa?" tanya Anum yang sepertinya memperhatikanku sejak tadi.

Aku menggeleng, "Ini enak! Makasih," ucapku dan Anum mengangguk. Setelah memalingkan wajah ke arah bukunya, ia kembali menatapku.

"Jadi, selama ini, setiap pulang sekolah, lu langsung ke Gelanggang? Lu gabung klub olahraga disana?" tanya Anum dan aku mengangguk.

"Iya, gua gabung klub bulutangkis!" jawabku dan Anum mengangguk-anggukan kepalanya.

"Cari kesibukan atau emang niatnya mau gabung?" tanya Anum dan aku tertawa pelan sembari menelan potong sandwich yang terakhir.

"Dua-duanya. Cari kesibukan dan emang suka bulutangkis!" jawabku dan Anum terdiam.

"Tapi, kapan-kapan ayo kita main, gimana?" tawarku dan Anum mengangguk semangat. Aku tersenyum gemas dan mencubit pipi Anum.

"Hadeuh, bisa senyum juga ini orang?" tanyaku dan Anum tersenyum kecil. Ya sepertinya itu adalah awal dari pertemananku dengan Anum. Kupikir kami berdua kini sudah mulai terbuka terhadap satu sama lain.

Seketika gerombolan anak perempuan di kelasku masuk sembari bergosip dan tertawa cekikikan. Aku dan Anum mendengus malas bersamaan dan kembali memasang wajah datar kami.

Diam-diam aku menguping pembicaraan para kaum hawa di kelasku yang sepertinya membicarakan anak pindahan tersebut.

"Gila sih, ganteng banget kan ya?!"

"Kira-kira, mereka masuk kelas mana ya?"

"Semoga ada yang masuk kelas kita deh ya? Semoga!! Kelas kita kan juga kurang 2 siswa, ya kan?"

Aku diam-diam berdoa dalam hati agar tidak ada seorangpun dari anak pindahan itu yang masuk ke kelasku. Atau berdoa agar tidak ada seorangpun dari anak pindahan itu yang berteman denganku, itu jika benar kalau mereka adalah geng motor.

"Tapi tadi liat gak sih ada cewenya?"

"Iya, rambutnya pendek itu kan? Kayanya dia deket banget sama mereka!"

"Cantik sih, tapi gak sebanding sama gua lah!"

Aku memutar bola mataku dan berpura-pura muntah, dan sepertinya Anum menyadari itu atau dia juga melakukan hal yang sama denganku yaitu menguping.

"Eneg kan?" tanyanya dan aku mengangguk.

Re-writeWhere stories live. Discover now