20 : Markas

5 0 0
                                    

Aku tidak sanggup.

Sial.

Aku sudah memuntahkan isi perutku berulang kali hingga sekarang terkuras. Adegan pembunuhan, mutilasi, darah dan organ tubuh benar-benar terpampang nyata di film itu.

Siapapun yang memilih film itu aku benar-benar ingin menghajarnya!

Aku tidak peduli akan dikatakan payah atau apa, intinya aku benar-benar tidak akan pernah lagi menonton film thriller.

Aku keluar dari bilik kamar mandi dengan lemas, mencuci tangan lalu keluar dari kamar mandi. Aku mendudukan diriku sendiri di kursi sebelum akhirnya bangkit menuju cafe untuk minum kopi.

Aku tidak akan melanjutkan tontonanku, jadi lebih baik aku meminum kopi untuk menetralisir rasa mual.

"Lattenya 1 ya mbak!"

Aku membanting tubuhku di kursi paling pojok, dengan ekstra ketenangan dan jauh dari kebisingan. Kepalaku rasanya berputar dan mual masih menghantuiku.

Pelayan mengantarkan segelas latte untukku dan langsung kuminum hingga tersisa setengah. Aku menghela nafas lega, perasaanku jauh lebih baik. Dan handphoneku berdering.

"Halo?"

"Dimana?"

"Cafe XXX!" setelahnya langsung kumatikan tanpa peduli.

Aku menundukkan kepalaku ke dalam lipatan tanganku di atas meja. Kabar baiknya, tanganku sudah baik-baik saja sekarang.

"Rin, gapapa?"

Aku mendongak melihat Icha dan yang lainnya datang, "Kebiasaan deh suka bikin panik!" ucap Icha dan aku hanya bisa tertawa.

"Siapa yang milih filmnya sih?" tanyaku dan mereka serempak menoleh pada Jian.

Aku menatap Jian dengan tatapan datar, tanganku rasanya sudah gemas untuk mencakarnya tapi kutahan karena malu.

"Lainkali milih film yang lebih bermanusiawi sedikit bisa gak? Dibunuh, dimutilasi, belum lagi organnya diambil!" keluhku dengan sebal.

Jian mengacungkan dua jarinya, "Sorry, hehe! Gua kira bakal seru dan adegan itunya gak banyak! Tapi rupanya tiap menit ada adegan itunya!" jawab Jian dan aku menoleh kanan kiri.

"Jangan bilang adegan itu! Orang bisa ngira kita baru aja nonton film begituan!!" gerutuku pelan dan Jian lagi-lagi menyengir.

"Kita mau kemana lagi?" tanya Icha dan aku mengendikkan bahu. Aku membaringkan kepalaku di bahu Anum.

"Kepala gua pusing!" keluhku dan mereka semua menoleh.

"Kita pulang aja?" tanya Icha namun aku segera menggeleng cepat.

"Jangan ah! Di rumah gua sendiri, gak ada kegiatan!" keluhku dan akhirnya kami memutuskan untuk pergi saja dulu dari Mall.

Betapa lucunya ketika aku mengetahui bahwa mereka juga bukan orang yang suka pergi ke Mall, atau tempat ramai. Sama sepertiku dan Anum. Kadang kami hanya ke Mall untuk beli buku, sepatu atau baju atau nonton film, setelah itu langsung pulang.

"Kita mau kemana?" tanyaku pada Anum dan ia masih mengendikkan bahu, tak berniat membuka suara.

"Masih gak mau ngomong ya? Masih gak mood ya?" tanyaku sembari mengeratkan pelukanku pada pinggang Anum. Bukannya merasa risih, kulihat Anum tersenyum.

"Udah ah! Nanti orang ngira gua udah gak normal!" ledeknya dan aku hanya tertawa sebagai jawabannya.

Aku mengerenyitkan dahi ketika yang lainnya membelokkan arah ke arah lain yang tidak kuketahui. "Kita mau kemana sih?" tanyaku dan Anum mengendikkan bahu.

Beberapa saat kemudian, kami berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar atau kecil, tapi memiliki halaman yang begitu luas dan sangat cantik.

Aku mengerenyitkan dahi, "Ini rumah siapa?" tanyaku dan beberapa dari mereka tidak ada yang menjawab, malah mempersilakan aku serta Anum masuk ke dalam.

Ketika masuk, tidak ada yang istimewa dari rumah itu, hanya saja ada satu kata yang terlintas ketika melihat dalam rumah itu. Nyaman.

"Ini rumah siapa?" pertanyaan itu keluar dari mulut Anum, sepertinya ia juga masih bingung.

"Ini tempat kami!" jawab Arthur dan aku serta Anum saling bertatapan. Apa arti dari 'tempat'?
Aku menoleh, melihat sebuah pigura foto yang terpajang di atas meja. Melihat mereka semua berfoto lucu dengan jaket kulit khas sebuah geng motor. Aku tersenyum tipis, aku mulai mengerti.

"Maksudnya ini markas kalian?" tanya Anum dan mereka akhirnya mengangguk.

Aku terdiam sesaat, terpikirkan tentang ucapan kak Dena. Apa yang harus kulakukan?
"Num, Rin, ayo duduk!" ucap Icha yang entah datang darimana sembari membawa segelas jus jeruk.

Kami berdua duduk dan menatap sekeliling kami yang begitu nyaman. Rumah ini tidak terlalu sempit, tidak memiliki banyak furniture tapi masih memiliki banyak tempat. Tapi apa yang membuatku suka dengan rumah itu adalah ruang keluarga yang hangat dan nyaman untuk bisa berbincang bersama.

"Disini enak ya? Lebih mending disini dibandingkan di rumah gua!" ucap Anum dan aku tertawa lalu mengangguk.

"Sama!" gumamku.

Aku membaringkan kepalaku di bahu Anum, kepalaku masih agak pening.

"Rin, mau minum obat aja? Disini ada obat-obatan kok, lengkap!" tanya Arthur tapi aku menggeleng.

"Gapapa kok, cuma pusing biasa aja! Cuma butuh tidur sebentar aja!" ucapku lagi. Kemudian seseorang menarik tanganku untuk bangun. Ketika membuka mata, aku mendapati Angkara yang menarikku.

"Mau apa?" tanyaku pelan, mataku sudah agak memberat. Angkara malah tetap memaksaku untuk bangun, dan akhirnya karena sudah terlalu lemas aku bersender pada Angkara.

"Jangan tidur dulu! Tidur aja di kamar!" ucap Angkara tapi aku sudah hampir tertidur. Hanya bisa mendengar suaranya saja.

"Gendong aja ke kamar, Kar! Kayanya udah ngantuk banget itu!" ucap Bintang dan diangguki yang lainnya.

Aku merasa tubuhku melayang seketika, "Enteng banget! Berasa gendong angin! Gak pernah makan ya lu?" ucap Angkara dan aku hanya diam mendengarnya.

"Remy, bantuin buka pintu!" ujar Angkara tapi aku menggeleng.

"Gamau! Gamau ke kamar!" ucapku sudah tidak lagi sadar. Entah setan darimana kenapa aku malah memeluk Angkara sembari menduselkan kepalaku di dadanya.

Jian mulai berdehem, "Ekhem,"

Angkara mendengus lalu terpaksa membaringkan tubuhku di sofa lagi. Ia menyuruh Remy, Gibran dan Gilang serta Antariksa untuk berdiri agar aku bisa tertidur disana.

"Kayanya Arin tipe orang yang pelor ga sih?" tanya Kevin dan Remy serta Jian mengangguk.

"Tapi gapapa sih bang! Yang penting kan cantik, pelor juga gapapa! Rela gua ngasih bahu gua buat dia tidur setiap hari!" ledek Jian.

Aku mendengarnya. Aku sulit tertidur jika ada orang lain yang masih berbicara. Apalagi jika itu adalah Jian, Remy atau Kevin. Suara mereka tidak bisa dibilang pelan, jadi tidak mungkin aku tidak terganggu.

"Nah bener tuhh!" ucap Remy dan saling bertos ria dengan Jian dan Kevin. Mereka tertawa bersamaan sedangkan yang lainnya hanya bisa tersenyum.

Aku mengerjapkan mata, "Ish, udahan ngobrolnya! Arin mau tidur bentar ya, Ji, Re, bang!" mohon Arin lalu ia tidak jadi membaringkan tubuhnya tapi mengambil posisi duduk dengan kepala yang mendongak.

Angkara berdecak, "Tiduran aja, jang—"

Aku memotong ucapannya, "Jangan ngomel dulu Kar! Gua tidur bentar, nanti boleh deh ngomel," ucapku lalu akhirnya suasana sepi dan aku akhirnya bisa terpejam sesaat.

Re-writeWhere stories live. Discover now