22 : Bertengkar

5 0 0
                                    

Setelah menghabiskan hari mingguku dengan di rumah saja dan mengabaikan semua chat, telepon dari mereka. Kini aku harus masuk sekolah lagi dan tanganku sudah sembuh hingga tak perlu di perban lagi.

"Mulai sekarang, kamu kakak antar jemput ya! Pokoknya setelah bel pulang sekolah bunyi, kamu harus langsung keluar, kakak pasti udah dateng!" ucap Kak Dena dan aku mengangguk saja.

Aku langsung keluar setelah kak Dena selesai dengan segala nasihatnya dan aku juga sudah harus siap untuk berhadapan dengan mereka.

Aku melihat motor-motor mereka di parkiran lalu aku melangkahkan kaki ke kelas. Kulihat Jian dan Remy sedang sibuk menulis sesuatu, begitu juga Anum yang tengah tertidur di atas mejanya.

"Arinn!!" Jian berteriak, menyapaku hingga Anum yang tertidur sampai terbangun dan matanya membulat sempurna.

Aku memasang wajah datar dan dinginku. Aku tidak akan akan lagi terpengaruh atau membiarkan orang lain untuk dekat denganku. Aku tidak mau tertipu lagi.

Aku segera duduk di kursiku tanpa menoleh pada 2 manusia di belakang. Anum menatapku, "Lu gapapa kan? Kenapa chat gua gak dibales?" tanyanya.

"Kemarin capek banget, lagi ada acara! Jadi gak sempat buka hp!" alibiku lalu kusibukkan diri dengan mengerjakan tugas yang belum kuselesaikan seluruhnya.

Bahuku dicolek, "Arin cantik! Kok gua gak disapa?" tanya Jian dan aku mengabaikannya. Sepertinya ia tidak menyerah sehingga dia mulai memainkan rambutku.

Jika sebelumnya aku akan langsung marah, kali ini aku benar-benar tidak mau punya urusan lagi dengannya dan teman-temannya yang lain.

Tringg...

Handphoneku berdering pelan. Sebuah notifikasi chat masuk.

Angkara

gapapa kalau ga dibales
Pagi

Aku segera mematikan handphoneku dan kembaki fokus mengerjakan tugasku. Jian tidak juga menyerah, dia mencolek pipiku dan mengikat rambutku dengan pulpen miliknya.

"Rin, lu kenapa dah? Kenapa diem-diem aja? Lagi PMS? Atau belum sarapan? Mau makan bekel gua?" tanya Remy dan aku tetap diam.

Anum melirikku diam-diam tapi tidak juga bersuara.

Guru pelajaran masuk tepat waktu. Jian dan Remy berhenti menggangguku dan aku berusaha fokus memperhatikan penjelasan guru itu hingga handphoneku yang ada di loker meja bergetar pelan.

Aku membukanya, khawatir jika itu penting.

Angkara

perhatiin yang bener
lu pake gantungannya?

Aku mengabaikannya lagi karena itu tidak penting, menurutku. Dan akhirnya setelah berjam-jam lamanya, bel istirahat berbunyi. Aku segera bangkit, membawa kotak bekalku.

"Mau kantin?" tanya Anum dan aku mengabaikannya, begitu juga dengan seruan Jian dan Remy yang masih bersikap seperti biasa, seah tidak tau jika aku telah berubah.

Aku berjalan cepat menuju kantin, membeli air mineral sebelum memakan bekal yang sengaja kubawa agar tidak perlu makan di kantin bersama mereka.

"Dih kenapa cepet-cepet jalannya sih? Jangan cepet-cepet ah, santai aja!!" ucap Jian sembari menahan pergelangan tanganku.

Aku menghempaskannya dengan kasar dan sepertinya kami menjadi tontonan oleh anak-anak yang lewat di koridor.

"Kenapa sih daritadi? Jangan-jangan beneran lagi PMS?" tanya Remy.

Jian menggeleng, "Atau kesambet penunggu sekolah? Ieu saha?!" ucap Jian sembari memegang puncak kepalaku dan aku segera menghempaskannya lagi.

"Gak usah ganggu gua lagi!" ucapku singkat lalu pergi. Hilang sudah niatku untuk ke kantin. Aku hanya ingin sendiri saat ini. Tapi sepertinya Jian dan Remy tidak menyerah, diikuti Anum yang sedaritadi hanya menonton.

"Rin kenapa sih? Ada masalah apa?" tanya Remy dan aku tetap berjalan cepat hingga hampir berlari. Aku benar-benar tidak ingin menemui mereka, tidak sanggup menghadapi penipu ulung seperti mereka.

Tanganku ditahan dan kutatap Anum yang rupanya masih mengikutiku, sedangkan Jian dan Remy sudah tidak ada disana.

"Kenapa? Pasti terakhir kali, ada sesuatu yang terjadi kan?" tanyanya dan aku terdiam. Anum menatapku lembut, hangat, seolah ia ingin aku tau jika ia siap mendengar ceritaku.

Tapi belum sempat aku menjawabnya, Jian dan Remy datang, namun tidak sendiri. Mereka semua datang dan ada di hadapanku saat ini. Terutama Angkara.

"Kata Jian, lu marah-marah, ada apa? Jian punya salah apa?" tanya Bintang yang kutau selama ini tidak banyak bicara padaku tapi ia selalu memperlakukanku baik.

"Iya, Rin! Kalau gua ada salah sama lu, atau kalau omongan gua ada yang nyakitin lu, bilang aja! Jangan gini! Gua gak bisa di diemin sama temen deket gua sampe kaya gini!" jelas Jian dengan suara seraknya.

Aku menunduk sebentar, dalam hati aku juga tidak ingin semuanya terjadi seperti ini. Aku juga tidak ingin semua ini terjadi dan seharusnya tidak terjadi jika kami tidak pernah saling kenal.

Aku memilih untuk pergi hingga pergelangan tanganku dicekal. Aku menatap Jian yang mencekalku dengan tatapan tajam, "Lepas!!" paksaku namun cengkramannya mengeras.

"Ada apa? Ada yang salah?" ulangnya sekali lagi, tatapannya sendu menatapku. Aku menatapnya dengan tatapan penuh amarah tetapi mataku mulai berkaca-kaca.

"Gua gak sangka kalau lu gak sebaik seperti yang gua liat!" sindirku dengan nada sinis. Jian mengerenyitkan dahi, bingung.

"Gak sangka kalau anak polos, lucu dan hangat kaya lu bisa jadi sebuas itu kalau di luar! Seharusnya gua sadar kalau lu berbahaya!" ucapku lagi dan berusaha melepaskan cengkramannya.

Jian menggeleng, tidak mengerti, "Maksudnya apa sih? Bisa gak ngomongnya langsung to the point aja?" tanya Jian dan aku tersenyum miring. Setetes air mata lolos dan jatuh di pipiku.

"Maksud gua, lu itu penipu! Lu sama temen-temen lu itu muka dua! Lu semua udah bikin gua jadi orang paling bego di dunia ini, paham?! Sekarang lepasin gua!!!" teriakku lagi sembari berusaha melepaskan cengkramannya lagi tapi Jian tidak terlihat mau melepaskan tanganku yang sudah mulai memerah.

"Lepasin gua! Lepasin tangan gua!!" teriakku dan Jian masih tidak berkutik.

"LEPASIN TANGAN GUA BANGSAT!!" teriakku sekencang mungkin sembari air mata mengalir deras dari kedua mataku. Pergelangan tanganku mulai terasa sakit hingga Arthur mendekati Jian.

"Jian, lepas!"

"Jian, lepas tangan Arin!"

"Jian gua tau kalau lu gak pernah mau kasar sama perempuan!"

Baru setelah itu, Jian melepas cengkramannya pada tanganku. Dan ia menatap pergelangan tanganku dengan tatapan sendu.

"Rin, gua minta maaf!" ucap Jian pelan.

Aku menatapnya sinis, "Pergi lu dari kehidupan gua, mulai detik ini!" ucapku lalu berlari pergi entah kemana.

Rasanya hatiku sakit ketika kata-kata itu keluar dari mulutku begitu saja. Jika aku saja sakit, apalagi mereka. Aku begitu keterlaluan, aku tau.

Aku jahat.

Mereka jahat dengan apa yang telah mereka lakukan.

Dan aku jahat dengan ucapanku sendiri.

Re-writeWhere stories live. Discover now