9 : Icha?

5 0 0
                                    

Aku duduk di lapangan dengan peluh memenuhi dahi. Lengan kananku rasanya pegal dan sakit, sepertinya karena Rion menarik lenganku.

"Gapapa Rin?" tanya Pelatih Tia yang rupanya memperhatikanku sejak tadi.

Aku mengangguk, mengacungkan jempol pertanda 'OK' padanya. Aku beranjak berdiri dan menuju ke kamar mandi. Aku mengelap keringatku dengan handuk dan memijat lengan kananku dengan pelan.

Tadi aku dan Misha tidak jadi ke apotek karena kami harus segera latihan. Jadinya, tanganku belum diobati dan ditambah latihanku harus menggunakan tangan.

Setelah selesai dengan urusanku, aku berniat untuk lanjut latihan hingga selesai lalu pulang nanti aku akan mampir ke apotek untuk membeli obat urut.

"Ha—AAAAA!"

Aku menatap orang di depanku dengan mata memicing sinis.

"Mau apa lo?" tanyaku namun orang itu menarikku ke arah teman-temannya dan memintaku untuk duduk.

Aku menatap orang-orang itu dengan rasa curiga. Sinyal bahaya di tubuhku berbunyi, membuat kewaspadaanku lebih meningkat.

Sebenarnya mereka ini siapa? Apa hubungannya denganku? Dan kenapa mereka selalu ada di tempat dan waktu yang sama denganku?

"Sebenernya, lu semua it—ish,"

Aku meringis sakit karena seorang perempuan menarik tangan kananku. Aku menatapnya, ya perempuan berambut pendek dan hitam itu mengoles tangan kananku dengan minyak urut.

"Sakit," ringisku lagi dan kutatap perempuan berambut pendek itu dengan seksama. Berusaha mengingat-ingat siapa tau dulu aku pernah mengenalnya.

Lalu aku mengalihkan wajah pada 12 laki-laki yang duduk menghadap ke arahku dan laki-laki yang tadi langsung menarikku setelah aku keluar dari kamar mandi.

"Kalian tuh siapa?!" tanyaku sekali lagi.
Perempuan berambut pendek tadi melepaskan tanganku, "Gua Icha!" ujarnya dan aku menatapnya bingung.

"Gua gak kenal lu, ataupun yang lainnya! Gua bukannya gak berterimakasih, tapi gua gak tau apa niat lu semua ngelakuin ini!" ucapku dengan nada lemah.

Perempuan yang tadi mengenalkan diri sebagai Icha, kembali meraih tangan kananku untuk kembali ia pijat.

"Gapapa, gua paham kok! Pelan-pelan aja!" ucapnya dan setelah itu aku merasa ada hal lain ketika ia bicara seperti itu.

Entah apa arti dari 'pelan-pelan aja' yang dikatakan Icha. Tapi aku menangkap isyarat bahwa ini bukanlah kali terakhir aku bertemu dengan mereka.

"Tangan lu gapapa! Tapi jangan terlalu dipaksain ya, gua tau pasti sakit setiapkali digerakin!" ucap Icha dan aku mengangguk.

Ketika aku hendak bicara, suara peluit panjang pelatih Tia terdengar.

"Gua pergi dulu!" ucapku lalu bangkit, namun mendadak bahuku rasanya kaku dan rasanya begitu sakit.

12 laki-laki itu segera menatapku penuh rasa khawatir, "Gapapa? Mana yang sakit?" tanya mereka bergantian yang pertanyaannya hampir semuanya sama.

Aku menggeleng, "Gapapa, mungkin efeknya baru kerasa sekarang! Gapapa!" paksaku lalu berjalan pergi menuju pelatih Tia yang sepertinya menangkap kedatanganku.

Dia bertanya melalui tatapannya dan aku mengangguk, menyakinkannya. Misha juga duduk di sebelahku dan aku berusaha bersikap baik-baik saja, setidaknya agar anak di sebelahku ini tidak menangis lagi.

Setelah cooling down dan evaluasi permainan, pelatih Tia segera membubarkan agar kami cepat pulang dan istirahat. Pelatih Tia mendatangiku, "Saya antar kamu pulang!" ucapnya tak terbantahkan.

Aku hanya mengangguk karena perintah itu menurutku sebuah ajakan untuk berbicara empat mata. Jadi, tidak masalah. Pelatih Tia sudah seperti kakakku sendiri.

Setelah merapikan barang-barangku dan menyakinkan Misha bahwa aku sudah baik-baik saja, aku segera menghampiri pelatih Tia yang menungguku.

"Ada yang nungguin kamu tuh!" tunjuk pelatih Tia pada 13 orang yang memang sepertinya, dari gerak geriknya tengah menunggu seseorang.

Aku menghampiri mereka, hanya menatap Icha dan mengulas senyum tipis, "Icha, makasih buat yang tadi ya!" ucapku tulus dan perempuan itu tersenyum lalu mengangguk.

Matanya beralih pada lenganku yang terlihat jelas karena aku hanya pakai kaos lengan pendek. Aku tersenyum kikuk, "Gapapa, cuma hal kecil! Gua balik duluan ya!" pamitku cepat lalu berbalik.

Rasanya setiapkali berhadapan dengan mereka, aku merasa sangat bingung, canggung dan kikuk. Aku merasa seperti sudah dekat dengan mereka apalagi mereka terlihat begitu memperhatikanku.

"Jaket gua mana?"

Aku tersentak lalu reflek berbalik. Laki-laki yang meminjamkanku jaket sebelumnya ada disana, dengan raut wajah dinginnya. Aku membuka tas jinjingku dan mengeluarkan jaketnya.

"Ini! Tadinya mau gua cu—"

Ucapanku terpotong sesaat setelah laki-laki itu mengambilnya dan memakaikan jaket itu di tubuhku, bahkan ditutup hingga rapat.

"Jangan cuma jadi beban di tas doang! Dipake! Gua ngasih pinjem bukan buat ditaruh tas doang!" ketusnya dan rasanya aku benar-benar ingin mencakar mulutnya.

Aku bukan orang yang suka memakai barang milik orang lain lama-lama. Jika aku sudah selesai menggunakannya, maka aku akan mencuci dan mengembalikannya segera. Aku hanya akan memakainya sekali.

Aku mengurungkan niatku untuk membalas ucapannya. Aku malas juga berargumen dengan orang yang tidak kukenal. Aku memasang tampang datarku dan berjalan keluar Gelanggang.

Pelatih Tia menatapku bingung, "Kenapa mukanya ditekuk?" tanyanya dan aku mengendikkan bahu.

"Gak tau! Rasanya pengen nyakar muka orang! Kalau ngebunuh orang gak dosa, udah gua lakuin dari tadi!" sinisku lalu duduk di jok belakang motor pelatih Tia.

Pelatih Tia mengerenyitkan dahi, "Tuh ada yang dadahin kamu!"

Aku menoleh, menatap Jian dan Remy yang melambaikan tangannya padaku. Aku memutar bola mataku malas, "Gua gak kegeeran, mereka dadahin orang lain, kak! Ayo buru jalan!"

Re-writeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang