13 : Perusak Pemandangan

6 0 0
                                    

"Eh ada si anak jagoan guys!" sorak Jessi dan aku menatapnya dengan mata bingung.

"Lah nih orang ngapa, dateng-dateng gak jelas gini!" ucap Anum pelan sembari tetap memakan es podeng pesanannya.

Kami berdua sedang berada di kantin, waktu istirahat. Tadinya kami berharap menghabiskan waktu istirahat dengan damai dan penuh ketenangan, tapi rupanya hari ini tidak bisa.

"Eh, Anum, lu tau gak? Gua baru aja pulang dari Belanda!" ujar Jessi sembari duduk di sebelah Anum yang terlihat begitu sebal.

"Ya terus? Emang gua nanya?" tanyanya balik dengan nada sinisnya.

Aku yang duduk di hadapannya saja benar-benar ingin tertawa, tapi bukan Jessi namanya kalau langsung menyerah begitu saja.

"Lu pasti iri kan? Gua jalan-jalan ke Belanda, shopping, jalan-jalan sama keluarga gua!" sombongnya dan Anum menatapnya remeh.

"Gua juga bisa kesana kalau gua mau, gua ingetin biar lu gak lupa!" jelas Anum dengan wajah datarnya.

Aku benar-benar hampir saja menyemburkan kuah basoku namun kutahan.

Jessi merangkul Anum, "Iya gua tau kok, lu itu kaya! Tapi emangnya keluarga lu seharmonis gua? Gua bisa setiap hari sama mereka, mereka sayang sama gua, menuhin semua keinginan gua, kalau lu?" tanyanya lagi dan aku menatap perubahan wajah Anum.

Anum menoleh, "Terus pedulinya sama gua apa? Perlu gua sebutin apa aja yang udah terjadi di keluarga lu? Soal kakak lu, om lu, mau gua sebutin?" tanya Anum lagi dan Jessi mendesis.

"Gua suka kasian sama lu, gak ada yang merhatiin!" ucap Jessi dan Anum tersenyum miring. Ini pertama kalinya aku melihat senyum itu di wajah datar Anum.

"Gua juga kasian sama lu karena terlahir sebagai anak gak tau diuntung!" ucap Anum sarkas. Wajah Jessi berubah pias.

"Jes, gua cuma mau kasih saran! Jangan ganggu gua kalau lu gak mau rahasia keluarga lu terbongkar, gua tau lu juga yang bakal rugi!" jelas Anum dan Jessi terdiam.

"Mau lu ke Belanda, bareng kakek lu, bapak lu, kakak lu, itu bukan urusan gua! Mau ke Belanda apa ke pangkuan tuhan, itu juga bukan urusan gua!" ucap Anum lagi.

Anum menghempaskan tangan Jessi yang merangkulnya, "Pergi! Lu ngerusak pemandangan!" ucap Anum lagi dengan tajam.

Aku pertama kali ini melihat sisi tajam Anum. Aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi, tapi tidak sopan bertanya hal pribadi sedangkan dia selalu enggan membahas keluarganya.

Jessi pergi dengan komplotannya tanpa banyak bicara. Sedangkan kutatap wajah Anum yang sepertinya sudah muak, ia bahkan tidak melanjutkan kegiatan makannya yang tertunda.

"Gua kelas ya? Udah gak nafsu gua!" ucapnya lalu bangkit. Aku juga ikut bangun dan bingung ketila Anum langsung saja pergi.

Ia keluar dari kantin dan entah menuju kemana. Aku mengikutinya tapi terhalang dengan 13 manusia yang mendadak muncul.

"Hai!" sapa Icha dan aku tersenyum.

"Hai juga! Eh nanti aja ya, gua harus nyusulin si Anum! Bye!" ucapku terburu-buru lalu berlari.

Aku kehilangan jejak anak itu, entah dia pergi kemana. Kenapa harus serumit ini sih? Kenapa juga si Jessi itu ganggu?

"Kalau lu abis dari Belanda terus urusannya sama Anum apa?!" tanyaku dengan nada suara tinggi. Rasanya aku muak.

"Lu pikir Anum nenek lu harus segala lapor?! Ganggu banget sih lu!" ucapku lagi dengan nada tidak santai. Aku terus merutuki Jessi dan mondar-mandir di koridor.

Anum tidak mungkin ke kelas karena arah ia berlari tadi, bukan menuju kelas. Dan sialnya, aku sendiri belum terlalu tau denah sekolahku ini. Jadi, aku diam saja, tidak mencarinya karena aku sendiri takut kesasar.

"Hadeuh si Anum juga! Kenapa segala lari-lari? Dikira lagi syuting film india apa?!" gerutuku yang masih celingukan kesana kemari.

Tubuhku menegang ketika seseorang menepuk bahuku. Aku segera menoleh dengan cepat dan mendapati 13 manusia itu lagi disana dengan tatapan khawatir.

"Kenapa?" tanya Icha lagi dan aku mendengus pelan.

"Si Jessi cari masalah lagi terus si Anum pergi, gak tau tuh kemana! Dikira nyarinya tuh gampang. Ini sekolah bukan kontrakan sepetak yang bakal langsung ketemu kalau ngumpet sekalipun!" gerutuku lagi.

Icha terkekeh, "Mau cari bareng?" tanyanya dan aku menggeleng.

"Udahlah! Gak perlu! Mungkin si Anum juga gak mau ditemuin dulu saat ini! Lagian si Jessi mulutnya julid amat sih, gak bisa gitu sekali tuh mulut gak cari masalah!" emosiku dan setelahnya handphone-ku berbunyi.

Nama 'Anumalia' terpampang di layar handphoneku. Segera kuangkat dan mulai mengomel,

"Heh, lu dimana? Lu pikir nyari lu gampang apa?!" omelku.

Terdengar suara kekehan, "Gak usah nyariin! Gua di perpustakaan! Gua mau bolos, bilang aja sakit ke guru ya? Nanti gua balik ke kelas kalau udah enakan!" ucapnya dan dari suaranya saja, aku tau bahwa dia tidak baik-baik saja.

"Oke. Tapi, kalau ada apa-apa, telpon gua lagi! Paham?!" tanyaku dan terdengar tawa geli lagi dari sana.

"Tuh kan udah gua bilang, lu itu udah 11 12 sama hewan buas! Galak bener!" ledeknya dan aku mendengus.

Masih sempat-sempatnya bercanda saat dia sedang tidak baik, ingin rasanya aku menghampirinya lalu menjitak kepalanya sekeras mungkin agar dia bisa menangis dengan puas.

"Jangan kesini! Jangan nyariin gua! Gua mau sendiri dulu!"

Aku terdiam lalu tersenyum sedih, "Dih kepedean amat! Gua nyariin lu tuh karena tadi es podeng lu belum dibayar!" jawabku lagi dan Anum kembali tertawa.

"Bayarin dulu lah, nanti gua ganti!" ucapnya dan aku mengangguk.

"Udahan dulu! Mau ke kelas gua, bentar lagi masuk! Baik-baik lu di perpustakaan, takut aja kan ada penunggunya!" ledekku.

"Sial!" makinya dan aku terkekeh lalu dengan cepat mematikan panggilan tersebut.

Kutatap segerombolan manusia yang bahkan sampai detik ini masih belum kuketahui namanya satu persatu, "Anum gapapa! Jadi, gua ke kelas duluan!" ujarku dan sebelum pergi, tanganku dicekal.

"Lu masih sakit? Kalau masih sakit, kenapa sekolah?!"

Aku menatap laki-laki itu dengan mata jengah. Baru kemarin minta maaf sekarang kumat lagi.
"Apa sih?! Lu tuh kenapa sih ah?! Dari kemaren bikin gua emosi mulu!" keluhku sembari menghempaskan tangannya.

"Gak paham lagi sama lu! Punya salah apa sih gua sama lu sampe setiap hari gua harus emosi sama lu?!" tanyaku lagi dengan kesal. Wajahku memerah, pertanda emosiku sudah sampai di ubun-ubun.

"Mendinganmulaisekarang,gakusahganggugua! Muakguasamalu!!" ucapku dengan sangat cepat seperti sedang nge-rap. Tapi itulah aku ketika sedang sangat marah.

Aku segera pergi ke kelas dan membiarkan kelompok manusia itu dengan wajah cengonya. Lagipula, laki-laki itu punya masalah apa? Kenapa setiap hari kayanya ngegas mulu?

"EH IYA ANJIR, ES PODENG SAMA BASONYA BELUM DIBAYAR!!"

Re-writeOnde histórias criam vida. Descubra agora