14 : Bareng Jian

4 0 0
                                    

Aku menghela nafas sembari menatap Anum yang daritadi tetap diam. Aku kini tengah mengikutinya ke parkiran seperti biasa. Tapi rasanya jadi aneh karena Anum diam saja.

"Gua pulang sendiri aja, Num!" ucapku.

Ia menoleh dan menggeleng, "Gua anter aja! Gapapa!" ujarnya tapi aku menggeleng. Anum harus segera istirahat setelah menghadapi manusia seperti Jessi.

"Gapapa, gua bisa sendiri! Lu mendingan langsung pulang terus istirahat! Jangan terlalu mikirin omongan Jessi, dia kadang suka gak punya hati kalau ngomong!" ucapku dan Anum mengangguk.

Aku segera berjalan ke arah gerbang sekolah setelah mengantar Anum sampai di parkiran. Ya, sepertinya hari ini aku harus mandiri lagi.

Aku berjalan menyusuri jalanan teduh yang penuh dengan pohon rinda itu harus selalu dilewati jika menuju sekolahku. Dan sejak tanganku di perban dan tidak boleh digunakan dulu, aku meminta izin pada pelatih Tia agar tidak latihan dulu sampai tanganku sembuh. Dan tentu saja diizinkan.

Aku menatap jalanan yang sore itu cukup ramai. Mungkin jam ini merupakan jam pulang sekolah dan kantor, makanya jalanan terlihat macet.

Kulihat ada anak-anak sekolahku yang lain yang sepertinya sama-sama menunggu angkutan umum.

Aku tersenyum kala melihat mereka tidak sendiri. Mereka pasti berdua atau bertiga, atau lebih. Bercanda, mengobrol, bergosip ria. Aku benar-benar merasa menyedihkan karena selama ini tidak punya teman. Ya mungkin baru kali ini aku punya teman dan itu adalah Anum dan beberapa anak klub bulutangkis juga.

Dan Icha, mungkin.

Aku mendengar klakson motor yang membuatku segera menepi, mengira motor itu ingin lewat dan aku menghalanginya. Tapi, motor itu tidak juga lewat dan aku tau bahwa motor itu menungguku. Bukan, maksudku, motor-motor itu menungguku.

Aku menoleh, melihat Icha yang turun dari salah satu motor yang dikendarai oleh salah satu laki-laki yang juga sama-sama memiliki wajah datar dan tak berperasaan.

"Num, mau pulang?" tanya Icha basa-basi dan aku mengangguk.

"Bareng kita aja!" ajaknya dan aku segera menggeleng. Aku terdiam sebentar ketika melihat sepertinya tidak ada tanda-tanda bahwa angkutan umum akan lewat.

"Bareng kita aja! Lu tinggal milih mau dibonceng siapa!" ucap Icha dan aku menatapnya, menimbang-nimbang tawarannya.

Sebenarnya aku senang-senang saja diberi tumpangan, selain gratis dan ongkosku aman, yang lebih penting adalah cepat sampai dan sudah pasti selamat sampai tujuan.

"Tapi gua gak ngerepotin?" tanyaku dan Icha menggeleng dengan cepat.

Aku akhirnya mengangguk, "Ya udah, lu mau dibonceng sama siapa?" tanya Icha dan aku mengendikan bahu. Aku juga tidak tau, sama siapa aja tidak masalah.

"Sama Angkara, mau?" tanya Icha dan aku mengerjapkan mata bingung.

"Angkara yang mana?" tanyaku dan Icha menepuk dahinya lalu tertawa malu.

Icha menunjuk laki-laki yang menaiki motor gede, namun ia tengah memainkan handphonenya. Aku menatapnya jengah, "Kalau gua naik sama dia, bisa-bisa gua saling bacok sama dia di jalan," gumamku.

"Gua sama Jian aja! Gua deket sama dia!" ucapku dan Icha akhirnya mengangguk.
Jian tersenyum bahagia dan ketika aku datang menghampirinya, Jian mengusap kepalaku.

"Gua tau kok kalau gua ngangenin!" ucapnya dan aku segera memukul helmnya cukup keras.

"Sadar, Jian!" ucapku kesal dan ia hanya tertawa.

Ya, bisa dibilang aku dan Jian sudah cukup dekat. Walaupun harus diawali dengan pertengkaran dulu, tapi aku, Jian, Remy dan Anum sudah seperti teman yang tidak mau dipisahkan.

Kuakui, Jian dan Remy bukan seseorang yang buruk. Mereka baik, lucu dan menghibur, walau kadang jailnya bikin naik darah. Namun, bedanya Jian dan Remy adalah Jian itu full ekspresif, hiperaktif, gak bisa diam mau itu tubuhnya atau mulutnya. Tapi kalau Remy, bisa dibilang dia setengah ekspresif, setengah pendiam.

"Rin, gua masih mikir deh!"

Aku menatap Jian dari kaca spion motornya yang juga sejenis motor gede, tidak sebanding dengan tubuh Jian yang kecil, pendek dan kurus.

"Gua kira lu bakal milih dibonceng yang lain, tapi gak nyangka lu malah milih gua!" ucapnya dan aku sudah punya feeling kalau dia pasti akan menggodanya.

"Jangan-jangan, selama ini, lu suka sama gua ya?" tanya Jian dan aku memukul helmnya lagi.
Jian kaget dan setirnya sedikit bergoyang,

"Sumpah Rin, lu kalau mau mati jangan ajak-ajak gua! Gua masih mau hidup!" ucap Jian dengan kesal.

Aku tertawa senang, bahkan sepertinya sampai motor teman Jian yang lain, yang ada di depan, belakang, samping kiri dan kanan, juga mendengar tawaku.

"Cie bisa kesel juga lu? Baru tau seorang Jian yang super jail bisa kesel?" godaku dan Jian yang tadinya marah, mendadak langsung tersenyum lebar.

Jian itu lucu, humoris dan tau bagaimana cara menghibur. Tapi ingat, aku memuji bukan berarti menyukainya. Aku hanya senang dengan kepribadiannya yang bisa berbaur dan bergaul tanpa pandang bulu.

"Ini arahnya bener kan?" tanya Jian dan aku mengangguk.

Kami semua memasuki gerbang komplekku. Dan sepertinya kedatangan kami yang sudah seperti hendak tawuran itu mengundang perhatian banyak orang, termasuk satpam jaga yang sudah mengenalku.

Aku menunjuk rumah tingkat dengan dinding berwarna cream dan pagar hitam. Jian menghentikan motornya tepat di depan rumah, begitu juga dengan yang lainnya.

"Gua susah turun, Ji!" keluhku dan Jian tertawa meledek.

"Bisa naik tapi gak bisa turun!" ejeknya namun ia segera turun dari motornya dan membantuku turun.

"Kalau tangan gua udah sembuh, ingetin gua buat ngelempar mulut lu pake batu nanti ya!" ketusku dan Jian lagi-lagi tertawa.

Interaksi kami berdua tidak luput dari pandangan teman-teman Jian yang lain. Ya, kupikir tidak ada masalah karena aku dan Jian sedekat itu karena kami berteman.

Icha menghampiriku dan aku tersenyum menatapnya, "Makasih ya Cha! Maaf ngerepotin!" ucapku tidak enak.

Jian menjitakku, "Harusnya lu bilang gitu ke gua, bukan ke dia! Kan gua yang nganterin lu!" ucapnya tidak terima.

Aku mengangkat tasku dengan tatapan tajam, "Lu berani jitak kepala gua lagi, gua bikin kepala lu biru-biru ya!" teriakku dan Jian mengangkat kedua tangannya sembari tersenyum geli.

"Loh, Arin?"

Aku mengerjapkan mataku, melihat kak Dena, sepupuku, yang kini menatap kami semua dengan tatapan bingungnya.

"Kamu pulang bareng temen?" tanyanya dan aku mengangguk.

Jantungku berdetak lebih cepat ketika aku menangkap tatapan bertanya kak Dena yang aku yakini akan menjadi perdebatan kami di dalam rumah nanti.

"Iya kak," jawabku dan aku menatap Jian sembari tersenyum, "Makasih ya Ji!"

Aku segera berjalan masuk ke dalam rumah sedangkan kak Dena mengucapkan terima kasih pada Jian, Icha dan yang lainnya karena telah mengantarku.

Re-writeWhere stories live. Discover now