23 : Yang Sebenarnya

3 0 0
                                    

"Lu pulang bareng gue?" tanya Anum dengan hati-hati dan aku menggeleng.

"Enggak! Gua dijemput!" jawabku lalu mataku tak sengaja melihat mereka yang sedang duduk di atas motor mereka dan mereka juga menatapku.

Setelah kejadian tadi, Jian dan Remy tidak masuk ke dalam kelas dan Anum mengatakan jika Jian serta Remy sedang ada urusan dengan ekskulnya. Tapi sepertinya bukan itu alasannya. Mereka tidak mau aku merasa tidak nyaman ketika mereka ada di kelas.

Kulihat sudut mata Jian basah dan ia menatapku sendu, sedangkan aku tetap memasang wajah dinginku hingga akhirnya klakson mobil menyadarkanku.

"Gua duluan ya Num! Lu hati-hati pulangnya!" ucapku dan setelahnya, aku langsung berlalu pergi tanpa menoleh lagi.

Aku menormalkan mataku agar terlihat biasa saja ketika masuk ke dalam mobil, padahal rasanya aku benar-benar ingin menangis detik ini juga. Aku menutupi pergelangan tanganku yang memerah dengan menggunakan jaket yang kupakai.

"Gimana sekolahnya?" tanya Kak Dena.

"Baik," jawabku singkat lalu memalingkan wajahku.

"Mau drive thru McDonalds?" tanya Kak Dena dan aku mendadak teringat Angkara. Jadi, dengan cepat, aku menggeleng.

"Enggak! Arin gak laper!" jawabku lagi dan akhirnya kak Dena membawaku pulang.

Handphoneku sebenarnya bergetar pelan sejak tadi, tapi aku tidak mau memeriksanya di depan kak Dena.

Sesampai di kamar, aku segera mengunci pintu kamar dan menyalakan AC. Setelah itu melepas jaket, menaruh tas dan menjatuhkan diriku di atas tempat tidur. Kubuka handphoneku dan mendapatkan notifikasi chat dari pengirim yang sama sejak tadi.

Angkara

Udah sampe rumah?
Gimana tangan lu? masih sakit?
Maafin Jian, dia pasti kebawa emosi
Dia juga udah dimarahin sama Icha sama bang Arthur juga
Gua gatau apa yang terjadi sama lu, tapi Jian pasti khawatir
Maaf kalau selama ini kita bikin lu ga nyaman
Jian bilang maaf buat lu
Dia ga berani bilang itu secara langsung karena gamau lu marah lagi
Gua harap lu bisa maafin dia

Aku memejamkan mataku, diiringi air mata keluar. Setelah kasar padaku, aku tau Jian menyesal dan aku tau jika ia juga terbawa emosi olehku. Dan membaca jika ia dimarahi oleh Arthur dan yang lainnya, membuat perasaanku tambah sakit.

Aku melihatnya sendiri dengan kedua mataku jika mereka sejahat itu. Tapi kenapa hatiku sendiri terus mengatakan jika mereka baik? Kenapa semua bukti yang kurasakan dan kualami membuatku tambah yakin jika mereka memang baik.

Icha? Icha tidak terlihat tadi. Dimana perempuan itu? Apa dia baik-baik saja?

Baru saja hendak mengetikkan balasan, aku mengurungkannya. Aku tidak boleh melakukannya lagi. Aku tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
Dan tak lama, aku segera jatuh tertidur tanpa makan seharian ini.

Aku menatap tanganku sendiri yang tertancap jarum infus. Setelah berhari-hari mengurung diri di kamar, makan terlambat dan menghabiskan waktu dengan menangis, aku jatuh sakit.

Re-writeHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin