(9) Permintaan Kiai

Start from the beginning
                                    

Lomba ini adalah Perlombaan tingkat Provinsi Jawa Tengah, dan dilakukan satu minggu dari sekarang. Aku terpilih? Ya-Allah apakah aku mampu?

"Sampean ikut ya, nduk. Abah tahu tata bahasamu Jayyid Jidan." Abah matur padaku sekali lagi.

Kepalaku masih menunduk. Yang awalnya berniat mengatakan 'Ngapunten Abah, santri lain mawon.' Tapi Karena beliau sudah memutuskan, akhirnya dengan susah payah kukatakan

"Inggih, Abah. Sendiko dawuh. Insyaallah.."

Aku tidak bisa menolak. Perkataan beliau sudah menjadi asupan lahir dan batinku selama nyantri disini. Konon, perkataan seorang Kiai adalah sebuah pemberian. Dan santri harus menerima pemberian itu. Inilah yang sering disebut-sebut sebagai Sami'na Wa Atha'na- Mendengar dan taat.

"Alhamdulillah, nah disitu tertera dua peserta. Abah memilihmu dan Nida, kalian diskusikan sendiri siapa yang mengikuti Arab dan Inggrisnya."

"Ning Nida, bah?"

"Iya, dia sudah sering mengikuti lomba ini."

Aku menunduk paham. Tentu saja Abah berkali-kali mengandalkannya. Setelah beberapa kali melihat Ning itu, aku sama sekali tidak meragukan kemampuannya. Beberapa waktu aku sering melihat Nida Muthola'ah Kitab dan Tadarus Al-Qur'an sendirian di Aula. Sangat terlihat bahwa ia santri yang sangat rajin.

Tetapi, yang membuatku sedikit ragu adalah karena kami tidak terlalu dekat sebagai teman dan Kebetulan tidak satu kamar, dia berbeda umur denganku. Nida salah satu santri lama disini.

Setiap ada kesempatan, sebetulnya aku ingin mengajak perempuan itu berbincang atau berkenalan, tapi berkali-kali gagal karena selalu merasa sungkan melihat dirinya yang seorang Queen. Aku hanya sesekali menyapanya ketika kami kebetulan berpapasan atau mengaji bersama di pengajian Abah Yai. Entah dia mengenalku atau tidak.

Melihat perbandingan Skill yang pastinya berbeda, aku khawatir jika kehadiranku nanti malah menyulitkannya.

Bagaimana bisa Abah juga memilihku?

Astagfirullah..

Aku harus berhusnudzon untuk ini!

Beberapa saat kemudian, kuputuskan pamit undur diri tanpa banyak bertanya. Abah Amar menyemangatiku untuk lomba kali ini dengan suara penuh perhatian. Kubalas beliau dengan senyum ta'dzim, Abah dan Ummik sudah seperti Orang tuaku dan orang tua kami semua Santri. Aku sudah sangat mengagumi beliau sejak pertama menginjakkan kaki di Pesantren ini dua tahun lalu.

Sedikit cerita, Abah Kiai dan Ibu Nyai kami belum dikaruniai Putra-putri kandung. Pesantren ini tidak memiliki Gus ataupun seorang Ning.

Awalnya, aku terkejut saat mendengar cerita dari temanku yang sudah nyantri lama disini. Pantas saja abah sangat loyal dan mempercayakan Pesantren pada santri-santrinya. Konon, beliau meneladani Kiai Muntaha yang merupakan guru Spiritualnya, yakni Sosok Kiai yang tak pernah membeda-bedakan santri.

Cerita yang membuatku lebih kagum, adalah saat dulu abah menolak tawaran Ummik untuk menikah lagi. Abah menolak berpoligami.

Alih-alih seperti drama televisi atau Film- yang begitu banyak perseteruan dan keretakan keluarga karena istri yang belum memberikan keturunan. Tapi yang kulihat pada Abah dan Ummik sangatlah berbeda.

Melihat Unggah-ungguh Kiai dan Bu Nyai kami, terasa bisa melihat semua ajaran Kaidah Akhlak didalam kitab dalam sekali pandang.

Beliau berdua sering terlihat bersama. Tak jarang melihat Abah dan Ummik berjalan-jalan disekitar pondok. Makan di piring yang sama. Berbincang membahas banyak hal diiringi gelak tawa. Abah terlihat masih romantis pada Ummik meskipun sudah di usia senja seperti ini. Suatu pancaran kebahagiaan yang sangat bisa dilihat dan dirasakan bahkan bagi kami santri-santri beliau.

"Gusti Allah sudah memberi kita pengganti ribuan santri, mik. Aku sudah tenang. Insyaallah kelak ketika kita mati, sudah ada yang mau mendoakan."

Mataku berkaca-kaca mendengar cerita itu. Itulah yang dikatakan Abah ketika menolak tawaran Ummik untuk di poligami dulu.

Semua tentang beliau sangatlah kami kagumi sekaligus kami segani. Membuat para santri belajar mensyukuri nikmat dari sisi yang berbeda dari orang lain. Membuatku belajar bahwa kebahagiaan itu sejatinya bisa diciptakan dengan baik dan dengan cara yang baik pula. Tanpa merugikan orang lain.

Hingga sekarang di usia yang sudah terbilang sepuh, Abah dan Ummik selalu memberi kami kehangatan layaknya putra-putri kandung beliau. Karena ketulusan kasih sayang untuk semua santrinya inilah yang membuat kami semakin menghormati Kiai dan Bu Nyai kami. Semakin senang mengikuti ngaji. Semakin ikhlas mengabdikan diri pada Pesantren siang malam. Mencintai Abah dan Ummik lahir batin. Mengharap Ridho dan barokah beliau sebanyak-banyaknya.

Disini.

Di Pesantren dimana sebuah cerita lain, akan segera dimulai..


TO BE CONTINUED

***
Jangan lupa Vote dan komen manteman:)

NAYANIKA ZARA✅Where stories live. Discover now