Ini Bukan Mimpi, kan?

2.8K 424 24
                                    

Hai semua. Kembali lagi dengan chapter baru. Maaf kalo kelamaan upnya, soalnya kuota juga terbatas. Mumpung hari ini kuota terisi kembali, author langsung up.

Jangan lupa kasih vote sebelum membaca. Dan jangan lupa juga, share ke temen-temen kalian yang suka baca wattpad atau suka wattpad dengan genre fantasi-remaja, biar semakin banyak yang baca dan support.

OKE?

🦄

~

Pasangan orang tua melangkahkan kakinya cepat. Mereka menelusuri koridor dengan dinding yang didominasi warna putih. Bau khas dari bangunan itu, menyeruak, memenuhi indra penciuman mereka berdua.

Kaki mereka terus melangkah, tanpa memedulikan tatapan aneh dari orang-orang sekitar. Mereka berhenti, di kursi tunggu dekat dengan ruangan bertuliskan ICU. Seorang lelaki berusia kurang lebih 40 tahun, berdiri menyapa mereka.

"Pak Deon."

"Gimana keadaan mereka?" tanya Deon. Seminggu yang lalu, Deon dan Iva mendapat kabar, bahwa pesawat menuju Jakarta yang ditumpangi keempat anaknya mengalami kecelakaan.

Mereka secepatnya menyelesaikan urusan bisnis mereka di luar negeri, dan menaiki pesawat langsung menuju Jakarta.

"Bryan sudah dipindahkan ke ruang inap, sedangkan Vero, Vira, dan Deana masih ... di dalam." Deon menghela nafas. Mendengar fakta barusan, air mata Iva meleleh, jatuh deras menuruni wajahnya yang masih terlihat cantik.

"Bryan ada di kamar nomer berapa?" tanya Iva sambil terisak.

"Bryan di Lily nomor satu." Iva langsung berlari, meninggalkan suaminya dan ayah Deana di depan ruang ICU. Deon menahan sesak, melihat kembali istrinya yang kacau seperti empat bulan yang lalu.

"Gimana keadaan Vero, Vira, sama Deana?" Deon bertanya. Ayah Deana menghela nafas panjang. Kepalanya terangkat, menatap sendu pintu ICU yang tertutup rapat.

"Masih seperti kemarin." Tangan Deon bergerak, menepuk pelan punggung ayah Deana. Satu minggu yang lalu, saat mendengar berita dari ayah Deana, jantungnya seperti berhenti berdetak. Namun, dirinya harus kuat, demi istrinya.

"Makasih, Pak. Anda sudah menjaga putri saya." Deon terkekeh mendengar ucapan ayah Deana barusan. "Nggak usah pake pak elah, Rey! Kek ke siapa aja lu?"

"Tapi kan-"

"Gue atasan lu? Basi ah! Anak kita juga pacaran ini." Reyhan terkekeh mendengar kata-kata Deon. Deon masih sama, seperti dulu saat menjadi temannya di SMA.

Deon menghela nafas panjang. Punggungnya bergerak, menyender ke sandaran kursi panjang yang berada di ruang tunggu dekat ICU. "Rey, gimana lo sama perempuan itu?"

"Hmm? Gue putusin." Deon kembali terkekeh mendengar suara putus asa dari mulut Reyhan.

"Keknya Deana benci banget sama lo. Tapi, bener sih! Lo emang pantes dibenci. Udah bikin bundanya setres ampe bunuh diri, anak mana coba yang nggak benci ayahnya kalo kek gitu?"

"Iya. Gue emang pantes dibenci." Reyhan tersenyum kecut setelah berkata itu. Hampir 2 bulan ditinggal Deana, dirinya menjadi sadar atas semua kesalahannya. Dan selama hampir 2 bulan itu, dirinya mendapat semua kabar Deana dari Deon.

"Vero. Anak itu, mirip banget sama mamanya. Berani ngelawan yang salah, walau orangnya lebih tua dari dia." Deon mengangguk, membenarkan perkataan Reyhan.

"Gue mau minta maaf kalo nanti Deana udah siuman."

***

Air mata Iva meleleh, melihat keadaan memilukan Bryan sekarang. Walau sudah siuman dan infusnya pun sudah dilepas, tapi kakinya, "Bryan, kamu nggak papa?"

Transmigration of Bad BoyWhere stories live. Discover now