Chapter 17

731 54 5
                                    

Happy Reading !!!

***

Sherlyta menghempaskan tubuhnya di sofa yang berada di ruang tamu. Gita masih tidur saat dirinya sampai di rumah beberapa menit yang lalu.

Merasa lelah dengan segala pikiran yang kerap menghantui, Sherlyta memejamkan mata dan memijat pelan keningnya untuk menghilangkan rasa pusing yang datang akibat kurang tidur.

“Lo kapan pulang, Sher?”

Baru saja ingin tertidur, suara Gita mengurungkan niatnya, membuat Sherlyta kembali membuka mata dan menatap sinis pada sahabatnya itu, tapi Gita tidak memedulikan dan memilih duduk di sofa single yang tidak jauh dari Sherlyta yang duduk di Sofa panjang.

“Gimana kondisi Adnan?” penasaran, perempuan pendek itu langsung bertanya, tanpa mau memberi Sherlyta waktu untuk istirahat.

“Gak apa-apa, cuma kaki kanan yang patah sama muka yang terkena pecahan kaca. Itu doang yang parah, yang lainnya cuma luka kecil.” Dengan malas Sherlyta menjawab.

“Terus kenapa lo pulang pagi buta gini, bukannya nungguin dia di rumah sakit?”

“Buat apa? Udah ada Cesil yang jagain.” Dengan lesu Sherlyta menjawab, meringis saat hatinya kembali sakit dan dadanya yang sesak.

“Gini ya, kalau jadi kekasih kedua, rahasia lagi. Harus menanggung rasa sakit seorang diri. Gak bisa melakukan apa pun meskipun rasa cemburu itu nyata.” Entah sadar atau tidak Sherlyta mengucapkan itu semua, yang jelas sukses membuat Gita terkejut dan mengernyit bingung.

“Maksud lo ... lo sama dia--”

Mengangguk adalah jawaban tercepat untuk diberikan dan mudah di pahami sahabatnya itu.

“Sejak kapan?” sulit untuk dipercaya, namun ini Gita mendengar langsung dari mulut sahabatnya sendiri.

“Tiga hari yang lalu, saat gue ngurung diri di kamar. Dia datang. Awalnya gue gak mau buka pintu buat dia karena belum mau bicara apa pun. Tapi dia ngancam akan mendobrak pintu kamar. Akhirnya gue buka. Dia kukuh mau batalin pernikahannya sama Cesil. Ya, gue gak setuju dong. Akhirnya dia tanya tentang perasaan gue, gue bilang aja gue udah gak punya perasaan itu, tapi dia gak percaya dan akhirnya cium bibir gue--"

“Lo marah?” tebakan yang salah cepat memotong cerita Sherlyta yang kemudian memberi gelengan pelan. "Jadi lo balas?” raut wajah tak percaya terlihat jelas dari sahabatnya itu.

“Iya lah. Jujur aja gue gak bisa bohongin perasaan gue sendiri. Meskipun mulut gue bilang enggak, tapi nyatanya hati gue mengatakan iya. Sepuluh tahun, Git, gue nunggu dia dengan sabar. Bukan waktu yang sebentar tanpa adanya kabar bahkan kepastian. Dan saat bertemu, tiba-tiba dia udah mau nikah ... lupa sama janji yang pernah diucapkan sebelum pergi. Bisa lo bayangkan gimana sakit dan kecewanya gue? Dia akan nikah dengan sahabat gue sendiri, mesra-mesraan depan gue. Dan dia baru sadar dengan semua itu saat gue bilang kalau perasaan gue masih sama seperti dulu, nunggu dia meski akhirnya sia-sia. Sakit, Git! Gue gak sekuat itu. Gue ingin egois, tapi gue gak bisa, Cesil terlalu berharga buat gue. Gue gak mau nyakitin dia, meskipun pada akhirnya gue mengecewakannya juga.” Air mata Sherlyta menetes mengiringi ceritanya.

Gita berpindah duduk menjadi di samping Sherlyta, membawa tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya untuk memberikan sekedar ketenangan. Dapat dirinya rasakan seperti apa sakitnya Sherlyta menahan semua ini sendiri. Gita tidak bisa menyalahkan Sherlyta, karena bagaimanapun Sherlyta adalah korban. Bukan juga salah Cesil, karena perempuan itu tidak mengetahui apa pun, bukan juga salah Samuel, karena lupa adalah sifat alamiah manusia. Ini hanya masalah waktu dan keadaan.

“Waktu gue mungkin gak akan lama lagi, maka dari itu gue mengiyakan ajakan Samuel untuk menjalin hubungan ini. Bukan maksud menghancurkan atau mengkhianati sahabat gue sendiri. Tapi gue hanya ingin merasakan kebahagiaan ini meskipun hanya sekejap, gue ingin menghabiskan sisa waktu gue bersama seseorang yang selama ini menjadi tujuan gue.”

SherlytaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang