Chapter 3

1.4K 106 5
                                    

Happy Reading!!!

***

Sherlyta meraih ponselnya yang berada di atas nakas samping brangkar yang menjadi tempatnya tidur di rumah sakit, banyak panggilan tak terjawab juga pesan dari Cesil dan juga Gita sejak dua hari lalu. Dan Sherlyta yakin kedua sahabatnya itu kebingungan selama itu karena dirinya tidak ada datang ke butik bahkan ponselnya pun tidak aktif.

Jam memang sudah menunjukan pukul 08:15 pagi dan Sherlyta baru saja bangun dari tidurnya. Dengan segera ia kirimkan pesan pada kedua sahabatnya itu, memberi tahu bahwa dirinya tidak bisa datang dengan alasan ada kepentingan lain, Sherlyta sengaja berbohong karena tidak ingin membuat sahabat-sahabatnya itu semakin cemas dengan absennya ia selama beberapa hari ini.

Tok ... tok ... tok.

“Selamat pagi, Bu Sherlyta ini sarapannya tolong di habiskan,” sapa ramah seorang suster yang baru saja masuk membawakan nampan berisi makanan.

Sherlyta tersenyum tak kalah ramah lalu menerima nampan tersebut dari suster ber-name tag Dini itu. Dan tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih sebelum kemudian menyendokkan bubur dalam mangkuk yang diberikan suster Dini, menyuapkannya ke dalam mulut tanpa selera. Tatapan perempuan sipit itu lurus ke depan, terlihat kosong sampai tidak menyadari kepergian suster Dini dan kedatangan Alvin yang kali ini bebas dari Jas Dokternya, namun tidak sedikitpun mengurangi kadar ketampanan dokter muda itu.

“Habiskan dulu buburnya.” Sherlyta yang memang tengah melamun berjengit kaget mendengar suara bas merdu tepat di depan telinganya, membuat Sherlyta cepat menoleh ke asal suara.

“Eh, Dokter ternyata.” Senyum canggung Sherlyta lontarkan, lalu kembali menundukkan pandangannya ke arah mangkuk yang masih berisi penuh bubur khas rumah sakit.

Alvian tersenyum seraya menarik diri untuk berdiri tegak, menatap perempuan yang di tolongnya beberapa waktu lalu dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Bagaimana keadaan kamu sekarang?” tanyanya setelah beberapa saat membiarkan keheningan menyelimuti.

“Sudah lebih baik.” Sherlyta tersenyum tipis, lalu kembali menundukkan pandangan.

“Hasil pemeriksaa kamu sudah keluar. Apa ada keluarga yang bisa saya temui? Karena ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.” 

Terdengar helaan napas Sherlyta yang tidak lepas dari pengamatan Dokter muda itu.

“Ayah dan Ibu saya sudah meninggal.” Jawab Sherlyta singkat, kepalanya semakin menunduk dan tangannya memainkan sendok, mengaduk-aduk bubur yang masih tersisa banyak di mangkuknya. Mengingat kedua orang tuanya yang sudah lama pergi semakin memperburuk napsu makannya.

“Saudara?”

“Saya anak tunggal, begitu juga kedua orang tua saya. Kakek dan Nenek saya juga sudah meninggal.” Jelas Sherlyta dengan senyum yang sarat kemirisan. Membuat Alvian menatap iba perempuan cantik didepannya.

“Dokter bisa langsung mengatakannya kepada saya,” ucap Sherlyta menatap dokter tampan di depannya itu dengan senyum yang memperlihatkan ketegarannya.

Alvian menghela napasnya dan membuka Amplop putih yang lumayan besar berlogo Rumah Sakit tempatnya bekerja dan juga tempat Sherlyta di rawat saat ini.

“Kamu siap mendengarnya?” tanya Alvian.

Sherlyta mengernyitkan keningnya bingung. “Apa ada yang serius dengan kondisi saya?” Sherlyta balik bertanya. Dan Alvian mengangguk pelan, tidak ingin menutup-nutupi karena bagaimanapun perempuan malang itu akan tahu kondisinya setelah melihat hasil pemeriksaan yang di bawanya.

Sherlyta kembali mengukir senyum tegar. “Katakan saja Dok, saya siap mendengarnya.”

Dokter Alvian menjelaskan secara rinci tentang penyakit yang di derita Sherlyta, tentu saja perempuan cantik bermata sipit dan hidung mancung itu terkejut bukan main, pasalnya selama ini ia tidak merasakan gejala apa pun, hanya kemarin ia merasakan sakit kepala sehebat itu meskipun sebenarnya cukup sering ia mengalami rasa sakit itu. Namun Sherlyta merasa itu hanya karena dirinya kurang tidur atau kecapean, selebihnya ia merasa baik-baik saja. Dan penjelasan yang diberikan Dokter Alvian memang benar-benar sulit ia terima.

Bagaimana mungkin?

Sherlyta menatap nanar pada kertas putih dan juga mika hitam hasil Rontgen yang diberikan oleh Alvian. Ia masih tidak percaya dengan semua ini, kondisinya yang ia anggap sehat nyatanya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dan ini sulit di percaya, Sherlyta ingin menyanggahnya, tapi hasil yang ada di tangannya terlalu nyata untuk dirinya anggap becanda. Dokter Alvian memang bilang bilang bahwa penyakit itu bisa sembuh, tapi tetap saja Sherlyta merasa takut. Apalagi penyakit yang dideritanya tidak termasuk dalam golongan ringan.

Air mata yang sejak tadi Sherlyta tahan kini menetes begitu saja. Alvian yang menyaksikan pun merasa iba dan prihatin. Ia membayangkan dirinya yang berada di posisi Sherlyta, terserang penyakit yang cukup serius tanpa ada keluarga yang menemani untuk sekedar memberi semangat. Bisa di bayangkan bagaimana sulitnya? Tidak. Orang lain yang tidak berada di posisi ini tidak akan tahu bagaimana rasanya, bahkan untuk membayangkan Alvian yakin tidak ada yang berani. Karena memang semengerikan dan semenyedihkan itu.

Sherlyta turun dari ranjangnya, berjalan menuju jendela yang lumayan besar kamar VIP yang ia tempati, menatap keluar jendela dan melihat pemandangan kota dari lantai 3 ini. Air mata kembali membasahi pipinya yang sedikit chuby. Alvian sudah pamit dari setengah jam yang lalu, dan kini menyisakan Sherlyta seorang diri meratapi hidupnya yang sebatang karang.

“Sam, kapan lo kembali? Gue butuh lo.” Sherlyta mengusap air matanya kasar, meskipun itu hanya sia-sia sebab bulir bening itu terus menetes kembali membasahi pipinya.

***

Ponsel yang Sherlyta simpan di atas nakas berbunyi nyaring menandakan sebuah panggilan. Membuka matanya perlahan, Sherlyta kemudian meraih ponselnya dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul.

Tanpa melihat terlebih dulu siapa yang menghubungi, Sherlyta langsung menerima panggilan itu dan segera menjauhkan ponselnya dari telinga saat suara cempreng dari seberang telepon merusak pendengarannya, menarik penuh kesadaran Sherlyta yang sebelumnya masih setengah-setengah dengan rasa pusing yang mendera kepalanya yang entah di akibatkan dari penyakitnya atau karena alasan dirinya yang baru saja bangun dari tidur.

“Kenapa, Sil?” tanya Sherlyta dengan suara lemahnya.

“Lo sakit, Sher?” Cesil bertanya dari seberang telepon.

“Gak kok, gue baru bangun tidur,” ucapnya tak sepenuhnya bohong.

Besok lo ke butik ya, mumpung laki gue ada waktu,”

“Iya, tapi agak siangan kayaknya,” Sherlyta melirik jam yang menempel di dinding kamar rawatnya, baru sadar bahwa ternyata hari sudah kembali malam.

“Iya gak apa-apa kebetulan laki gue besok libur.”

“Bilang sama laki lo jangan sok sibuk.”

“Laki gue beneran sibuk, ya, bukannya sok sibuk!” gerutu Cesil tak terima, namun Sherlyta yang masih terlalu lemah dengan denyutan di kepala enggan untuk menanggapi, memilih langsung mematikan sambungan sepihak. Tidak peduli pada sahabatnya yang berkemungkinan saja tengah mengomel saat ini.

***
Tbc ...

SherlytaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang