Chapter 7

938 77 11
                                    

Happy Reading!!

***

Beberapa hari ini Sherlyta mulai disibukkan dengan kain, mesin jahit dan juga teman-temannya untuk di rangkai menjadi sebuah gaun pengantin yang indah untuk pernikahan Cesil.

Meskipun selalu timbul rasa nyeri di dadanya saat mengingat tentang siapa laki-laki yang akan bersanding dengan sahabatnya, tapi Sherlyta mencoba untuk menerima meskipun sebenarnya itu sulit. Ia ingin segera menyelesaikannya karena beberapa hari yang lalu Dokter Alvian menghubunginya agar segera datang ke rumah sakit untuk melakukan pengobatan secepatnya.

Memang hampir seminggu ini Sherlyta melupakan soal penyakitnya karena terlalu larut dalam kesedihan, kenyataan, juga karena kesibukannya mengerjakan gaun pengantin yang akan di kenakan Cesil dua bulan ke depan. Belum lagi menyiapkan untuk pentas seni di sekolah tempatnya mengajar membuat Sherlyta semakin sibuk dan lupa untuk menjaga kesehatannya hingga membuat Sherlyta beberapa kali pingsan dan untungnya itu terjadi saat ia kebetulan berada di ruang kerja atau kamarnya hingga tidak membuat siapa pun menyadari. Beruntung Dokter Alvin memberikan obat untuknya, jika tiba-tiba sakit itu datang kembali.

Masih tidak ada yang tahu tentang sakit yang di derita Sherlyta, karena perempuan sipit itu memang tidak ingin siapapun ada yang mengetahui.

“Sher, nanti malam ada waktu gak?” tanya Cesil yang baru saja masuk di ruangan khusus menjahit.

“Kenapa emang?” tanya balik Sherlyta tanpa menatap lawan bicaranya karena terlalu sibuk dengan mesin jahit dan kainnya.

“Mama-nya Adnan nyuruh lo main ke sana.”

Gerakan tangan dan kaki Sherlyta terhenti. Perempuan cantik yang kini terlihat agak pucat itu menatap ke arah Cesil.

“Jam berapa?”

“Jam 7, sekalian makan malam katanya. Nanti lo bareng gue ke sananya.” Sherlyta mengangguk dan mengacungkan tangannya berbentuk ‘o’ tanda ia setuju.

Setelah Cesil keluar, Sherlyta menghela napasnya lelah, air matanya kembali menetes mengingat kembali status yang dimiliki sahabatnya itu dengan Samuel, laki-laki yang masih belum juga bisa ia lepaskan bahkan lupakan.

“Sher, makan dulu.” Gita tiba-tiba masuk dan menyadarkan Sherlyta dari lamunannya.

“Nanti aja, gue belum lapar.”

“Lo dari kemarin belum makan, Sher. Lo terlalu sibuk sampai lupa makan. Lihat, muka lo udah pucat gitu,” ucap Gita menghampiri sang bos, menyodorkan plastik putih berisi makanan yang sebelumnya ia pesan, membuat Sherlyta mau tak mau akhirnya menurut dan melahap makanan yang di bawa oleh Gita.

“Lo nanti di rumah sendiri, gak apa-apa 'kan, Git?” tanya sherlyta.

“Emang lo mau ke mana?” tanya balik Gita.

“Gue mau ketemu Bunda sama Ayah. Dan kayaknya gue bakalan nginep, udah kangen juga gue sama mereka,” jawab Sherlyta sedikit menjelaskan. Ia memang benar-benar rindu pada orang tua keduanya itu. Rindu akan sebuah pelukan yang Sherlyta harap akan bisa mengambil sedikit beban hidupnya yang terasa menyiksa.

“Maksud lo, orang tua Samuel?” perempuan berkemeja putih itu mengangguk mengiyakan.

Gita menatap Sherlyta yang tengah menyantap makanannya dengan tidak berselera. Ia prihatin melihat sahabatnya yang menjadi seperti sekarang ini, tidak lagi ceria seperti dulu, sebelum kenyataan mengenai Cesil dan Samuel datang.

“Kok belakangan ini gue jarang liat lo pergi tepat pukul 5 sore?” tanya Gita yang baru saja teringat kebiasaan sahabatnya selama ini.

“Untuk apa? Sekarang semua itu percuma. Orangnya juga udah pulang meskipun bukan untuk gue.” Sherlyta berkata dengan lemas. Senyumnya terlihat miris dan napsunya untuk makan semakin surut.

SherlytaWhere stories live. Discover now