Chapter 12 : Phillophobia

11.7K 1.6K 41
                                    

JOVITA

Aku masih dalam masa penyesuaian melakukan WFH. Sebenarnya tidak terlalu sulit, hanya saja ketika ada karyawan yang membutuhkan surat menyurat bisa tertunda beberapa hari. Dan ada beberapa hal yang harus berubah juga, seperti satu hal ini yang selalu aku rindukan, perdebatan menentukan tempat makan di waktu pulang kerja.

Sore ini aku punya keinginan makan sup kacang merah, tapi melihat Sita dan Ambar yang berebut tempat makan, aku memilih mengalah, daripada ikutan pusing. Lain kali saja sup kacang merahnya.

"Bebek goreng lah!" usul Sita.

"Jangan! Seafood aja!" balas Ambar.

Belum lagi dua orang ini selesai, tiba-tiba datang satu lagi yang bukannya mencerahkan malah menambah pusing.

"Gimana kalau sushi aja?" ujar Lila kemudian duduk di ruanganku, sepertinya dia hari ini jaga pagi.

Ketiga orang di depanku ini bengong dengan pikiran masing-masing, seperti banyak beban, dan konyolnya hanya karena memikirkan menu makanan.

"Makanan datang!!" tiba-tiba Rafa masuk membawa makanan di tangan kanan dan kirinya.

"Lho kok? Udah ada makanan aja?" tanya Lila.

Rafa menurunkan makanan-makanan itu di depan tiga orang temanku tadi. "Ini pesanannya Jojo, katanya daripada kalian pusing." jawabnya.

Aku mengalihkan pandangan dari komputer. "Kok bisa? Kapan gue pesan makanan itu?" tanyaku keheranan karena memang aku belum merasa pesan apapun.

"Tadi ada ojek online antar makanan ini, katanya atas nama lo."

Aku sampai membuka aplikasi gara-gara bingung, masa iya kepencet?

Kebingunganku baru terjawab ketika ada satu orang lagi yang masuk kemudian langsung tersenyum lebar.

"Nah itu Ojek onlinenya!" seru Rafa.

Aku membalas senyumnya kemudian mematikan komputer. Akmal menyapa Lila dan dua temanku, dia ikut duduk bersama mereka.

"Berhubung gue belinya cuma empat, jadi gue mau beli lagi sama Jovita, yang belum kebagian." ucap Akmal.

"Akal lo cemerlang, Mal!" sahut Rafa.

Ketiga yang lain langsung berdehem dan mempersilahkan aku dan Akmal pergi terlebih dahulu. Aku sudah berusaha setenang mungkin melihat tatapan Lila yang sudah penasaran banget.

"Aku seharian tadi banyak di depan komputer, pusing banget rasanya. Enaknya makan apa ya?" tanya Akmal tepat ketika pintu lift tertutup.

Seperti mendapat pencerahan, aku langsung menyebutkan sup kacang merah. Nggak beda dengan Akmal, seharian ini aku juga menghabiskan jam kerja di depan komputer, membuat kepala rasanya pusing, makan yang berkuah dan panas sepertinya bisa memberi efek lebih baik.

"Oke! Sup kacang merah, yang dekat museum kan?"

Aku mengangguk cepat, merasa senang karena akhirnya keinginan makan sup kacang merah terwujud.

Setelah menutup pintu mobil, Akmal tidak langsung menyalakan mesinnya membuat aku menoleh padanya. Detik berikutnya dia maju untuk mengecup keningku. Hal yang belakangan ini wajib dia lakukan ketika bertemu atau berpisah denganku.

"Tadi nggak enak di depan teman-teman kamu!" ujarnya sambil menyalakan mesin.

"Hampir nggak percaya, sekelas kamu punya rasa nggak enak sama orang lain."

Akmal terbahak sambil memutar setirnya untuk balik arah menuju arah museum. Dia memutar lagu dan berikutnya aku dibuat geli dengan tingkahnya.

Di dalam mobil ini, nggak ada Akmal yang selalu diagung-agungkan cewek-cewek di kantor karena wibawa dan ketampanannya, yang ada Akmal yang bertingkah konyol karena menyetir sambil bernyanyi-nyanyi.

Informed ConsentWhere stories live. Discover now