Chapter 8 : Seleksi Awal

13K 1.8K 46
                                    

AKMAL

Hari yang indah, bangun pagi langsung tersedia sarapan. Memang benar kata bokap, kenyamanan rumah itu bukan terletak pada mewah tidaknya tapi terletak pada isinya. Kalau ada perempuan pasti nyaman. Gue iyain aja, entah beneran wejangan atau salah satu trik papa kasih warning ke gue untuk segera cari istri.

"Makanya kamu itu sering-sering pulang ke rumah, biar rutin sarapan sehat!"

Wejangan pertama dari mama di pagi ini. Mari kita dengar selanjutnya!

"Atau kalau kamu lebih betah tinggal di apartemen, ya cari orang yang bantu-bantu, biar ada yang siapin sarapan."

Wejangan kedua, dan ini belum intinya.

"Tapi daripada nanggung cari ART mending sekalian cari istri. Biar ada teman di setiap waktu. Beda rasanya kalau udah punya istri. Kamu pulang kerja pasti lebih semangat karena ada yang nungguin di rumah. Terus kamu lebih bisa mengontrol diri karena nggak hanya hidup sendiri udah berdua. Kalau udah ada istri, cari pahalanya gampang, cari berkah juga gampang. Tinggal kamu sayangi dan muliakan istri udah deh tuh pahala, rejeki dan berkah ngalir terus di hidup kamu."

Nah ini intinya. Gue suruh cari istri.

"Kamu kebiasaan kalau punya pacar selalu sembunyi-sembunyi dari mama. Inget umur udah 30, jangan kebanyakan main-main lagi! Mama itu bukannya mendesak kamu, takdir orang beda-beda, tapi ya kamunya jangan nyantai aja!"

"Iya."

"Jangan iya-iya aja, Dek! Kesan pertama Mama untuk Jovita, oke!"

Gue meletakkan sendok dan menatap mama dengan terkejut. "Kenapa jadi Jovita? Dia cuma teman Akmal, Ma! Jangan aneh-aneh kirim pesan ke dia ya, Ma! Beneran Akmal cuma temenan."

Mendengar ucapan gue mama langsung terlihat tak sesemangat tadi. "Udah Mama duga sih! Mana mau Jovita sama kamu! Gercep lah! Jangan kebanyakan mikir!"

Kini giliran gue yang tak semangat menatap mama. "Iya Ibu Emi tersayang! Perintah akan hamba laksanakan!" ucap gue seraya menunduk di depan mama.

Mama memukul lengan gue sambil tertawa kemudian memeluk gue. "Maafin mama ya kalau masih sering cerewetin kamu! Belajar dari kegagalan kakak kamu, Mama pengin kamu benar-benar dapat yang terbaik," ujar mama. "Jovita udah  masuk untuk tahap awal seleksi!" lanjut mama sambil tertawa geli melihat wajahku yang mulai frustasi.

Hari ini gue berangkat lebih pagi karena jarak rumah ke kantor lebih jauh. Setelah menginap semalam di apartemen, mama minta antar pulang, katanya kangen sama papa padahal yang dikangenin lagi ada kerjaan di luar kota.

Wajar aja mama nggak bosan nyuruh gue sering pulang kesini, semenjak kakak gue pindah ke rumah suaminya, rumah jadi sepi. Gue jadi merasa bersalah, mungkin kalau mama memaksa lagi, gue akan pindahan ke rumah. Berkorban sedikit untuk jarak kantor yang jauh asal mama senang. Tapi mama dan papa itu orangnya pengertian banget, nggak akan mungkin maksa anaknya.

Di tengah perjalanan gue dapat telepon dari orang kantor, suruh langsung ke rumah sakit Harapan Sehat, ada rapat mendadak di sana. Meskipun jaraknya jadi lebih jauh lagi, entah kenapa gue malah merasa semangat.

Gue sampai di rumah sakit sedikit terlambat, rapat sudah berjalan sekian menit. Gue mengedarkan pandangan dan berhenti di satu titik di mana ada Jovita yang juga melihat gue dan tersenyum. Dia duduk di deretan nomor dua, masker yang senada dengan bajunya semakin menyempurnakan penampilannya.

Gue balas senyumannya kemudian gue duduk di samping atasan gue. "Ada masalah, Pak?" tanya gue karena sebelumnya tidak ada pembicaraan mengenai rapat ini.

Informed ConsentWhere stories live. Discover now