Bab 6 - Masa Lalu Bahagia

Mulai dari awal
                                    

Ketika itu, terik mentari mulai terasa menusuk ubun-ubun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika itu, terik mentari mulai terasa menusuk ubun-ubun. Kepala Sekolah yang tengah mengucapkan pidato pada upacara hari Senin tampak tak juga puas dengan semua ocehannya.

Fathiya masih berusaha berdiri tegak di tengah lapang yang semakin memanas. Gadis itu sama sekali tak sanggup mendengar orasi Kepala Sekolah yang entah berapa lama lagi akan usai.

Dia bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi kening dan jilbabnya. Bintik-bintik hitam hadir mengganggu pandangan. Berkali-kali Fathiya mengusap wajah dengan saputangan sembari berharap awan mendung menutup ganasnya mentari barang sejenak.

Sayang, doanya tak terkabul. Kepalanya terasa semakin berat ketika napasnya semakin tersengal.

"Lo kaga ape-ape?" Suara penuh kekhawatiran terdengar seiring tepukan di pundak.

Fathiya ingin membuka mulut, tapi suaranya tak keluar. Ia justru merasakan tubuhnya limbung ke samping.

"TANDUU!!"

Teriakan pemuda itu masih terdengar kala Fathiya tersadar kakinya tak lagi bisa menahan tubuh. Gadis itu merasakan ada lengah kukuh yang menahan agar tidak terempas keras ke tanah. Matanya sudah terpejam erat ketika merasakan gaya tolakan ke atas yang menentang gravitasi. Seseorang membopongnya dengan lembut.

Fathiya masih bisa mendengar riuh sekitarnya, tapi tubuhnya sama sekali tak mampu digerakkan. Ia hanya bisa pasrah ketika pemuda itu meletakkannya dengan hati-hati ke atas tandu.

"Biar aku yang bawa." Suara pemuda itu kembali terdengar. Tandu pun terasa bergoyang ketika pengangkatnya bertukar, sebelum akhirnya mereka bergerak perlahan.

Seiring suasana yang menjadi teduh kala dia diangkat masuk ke ruang UKS, Fathiya sudah mulai bisa bernapas lega. Gadis itu kini bisa membuka mata perlahan. Ruangan serbaputih itu selalu membuatnya gugup. Namun, dibandingkan berdiri di lapangan terik, tentu berbaring di sini jauh lebih nyaman. Pendingin ruangan diatur dengan suhu yang pas hingga tak membuatnya menggigil ataupun kepanasan.

Hanya ada dua ranjang dan dua-duanya sudah ditempati. Tampaknya, upacara kali ini cukup banyak memakan korban.

"Mau minum?" Salah seorang petugas PMR membantunya untuk minum air hangat dengan sedotan. Rasanya lega sekali.

Suara riuh rendah kembali memudar ketika para petugas PMR laki-laki kembali bertugas di lapangan. Fathiya berusaha beristirahat dan tertidur.

"Gile! Bisa masuk MURI pidato hari ini!" Suara-suara ribut membangunkan Fathiya dari tidurnya.

"Bayangkan, sebagian yang pingsan saja sampai perlu diungsikan ke mabes PMR, Mapala, dan Pramuka. Kacau!"

"Panas banget hari ini! Paket komplet!"

"Lo pan enak di ruang UKS. Adem. Lha, gue ngejegrik di lapangan!"

Ah, suara pemuda yang sama yang tadi menolongnya. Logatnya terasa kental. Fathiya perlahan duduk. Pandangannya sudah tak lagi berbayang dan pikirannya terasa lebih jernih.

Fathiya x Labuhan Hati Antara Kau dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang