Prolog

36 1 0
                                    

"Rin,"

"Gua harap lu mau maafin gua! Maafin kita semua!"

Aku diam.

"Semuanya, gak seperti yang lu pikir, Rin!" ucap salah satu dari mereka.

Aku terdiam. Masih sedikit ada rasa takut dan tidak mau menerima. Aku merasa begitu ragu saat ini. Antara pergi atau memaafkan.

Tapi aku tidak bisa melakukannya, tidak dengan janjiku pada orang tuaku. Aku tidak bisa memilih pilihan kedua sekalipun hatiku memilihnya.

"Gua gabisa,"

"gak akan pernah bisa!"

14 pasang mata disana menatapku terkejut, namun salah satunya tidak. Ia lebih memilih mengajukan pertanyaan padaku.

"Kenapa?"

Aku terdiam, meremas tali tas ranselku. Meyakinkan hati bahwa ini adalah hal yang benar. Hatiku pasti akan terluka sesudahnya.

"You can't possibly understand the reason, because you've never been in my position,"

Aku beranjak bangun, hatiku sedikit merasa sakit. Tapi tidak bisa, aku tidak bisa melakukan apapun lagi. Ini sudah harus jadi keputusan terbaikku.

"You never tried. Trying to make us understand your position,"

Aku terdiam. Bukan tidak ingin mencoba. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Tidak akan pernah. Aku tidak mau membuka luka yang selalu kupaksa untuk terlihat sembuh.

"Sudah!"

"Gak perlu dipaksa!"

Aku menatap pemimpin mereka dengan tatapan mendalam. Dia selalu menjadi orang yang mengerti tentang situasi seperti ini. Selalu bersikap dewasa dan mau memahami pendapatku.

"Arin, lu udah kaya keluarga disini! Gapapa kalau lu nolak, sampai kapanpun pintu rumah ini bakal terus terbuka buat lu,"

Mataku kini terarah pada laki-laki berhoodie abu-abu yang sedari tadi menundukkan kepalanya, tidak menatapku seperti biasanya. Ia pasti kecewa. Ingin rasanya aku berlari dan mengatakan bahwa semua perjuangannya berhasil saat ini.

"Tapi gua gak akan kesini lagi, jadi, ini yang terakhir! Maaf kalau gua ada salah," ucapku lalu terburu-buru keluar dari rumah itu.

Aku tidak melakukan kesalahan kan? Aku hanya menepati janjiku pada orang tuaku walaupun itu berlainan dengan keinginan hati. Tapi, wajar bukan jika mereka memintaku seperti itu? Itu pasti karena sekarang, aku adalah anak mereka satu-satunya.

Apa yang bisa kulakukan jika semua terjadi seperti ini?

Langkah yang kuambil kini memberat. Aku sudah melawan keinginan hatiku sendiri. Aku sudah terlanjur nyaman dan mungkin suatu saat nanti, perasaan itu akan berubah, lebih dari sekedar rasa nyaman. Untuk beberapa hari menyenangkan bersama mereka, membuatku merasa seperti menemukan rumahku kembali.

Dan perasaanku padanya juga. Mungkin perasaan itu sudah berubah. Dan ketika perasaan itu berubah, dia mungkin sudah tidak akan ada lagi di sekelilingku, di setiap pagi, siang, sore dan malamku, dia tidak akan ada lagi di notifikasiku sepanjang malam.

Dan aku harus sendirian, bersama perasaan ini.

📌NEW STORYYY!!!

Welcome dan selamat menikmatii!!!

Ahh dan satu lagi, tolong beri apresiasi untuk cerita ini ya dengan cara vote dan komen🙏🏻😚

Chapter 1 akan diupload besok, jadi sampai jumpa di awal ceritaaa....

Dadah👋🏻

Re-writeWhere stories live. Discover now