-48. Resah Jadi Luka-

1K 93 242
                                    

🎶 Lantas- Ingrid Tamara Cover 🎶

Play lagu di atas saat part nyanyi nya ya, bikin candu & tenang.

Rintikan hujan pun mulai turun secara perlahan. Minggu pagi menjelang siang ini, Alven memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar untuk sekadar melepas penat. Jiwa dan raga Alven terasa sangat lelah, apalagi Alven kemarin menjadi selaku panitia camping, tentu tugas dan tanggung jawab yang ia andil sangat besar.

Laki-laki dengan wajah tampan serta rahang yang tegas mulai memasuki salah satu Coffe Shop yang terletak di jantung ibu kota. Alven tipikal orang yang simple, jika ia merasa penat ia hanya perlu meluangkan waktu untuk dirinya sendiri atau sekadar pergi dan duduk minum kopi. Menurutnya itu sudah lebih dari cukup.

Alven melangkahkan kaki menuju meja kasir dan memesan coffe dan sebuah brownies cokelat kepada seorang barista laki-laki. Setelah memesan menu dan menunggunya sekitar sepuluh menit, pesanan Alven pun sudah siap.

"Total nya enam puluh lima ribu ya, Kak." ujar seorang Barista laki-laki. Alven pun dengan cepat mengambil satu lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya. "Ini uangnya, kembaliannya ambil saja." kata Alven tersenyum.

Raut wajah Barista laki-laki itu cerah, sepertinya ia merasa senang bukan main. "Terimakasih banyak Kak." katanya.

Alven kemudian mencari tempat duduk yang masih kosong, namun tanpa di sangka kedua netra sedingin langit malam miliknya menatap sosok gadis yang selalu membuat dirinya nyaman dan sukses memasuki poros kehidupan gadis itu. Senyum tipis tercetak di wajah tampannya. Entah semesta merencanakan hal apa, tetapi Alven mengucap syukur, karena setidaknya ia masih diberikan kesempatan untuk selalu dekat dengan gadis yang ia cintai sampai saat ini.

Alven berjalan mendekati meja yang di duduki oleh Mutiara di pojok dekat dengan jendela. Entah kebetulan atau bagaimana Alven bisa bertemu dengan Mutiara di Coffe Shop ini, tempat nongkrong yang sangat dikunjungi banyak orang dari berbagai kalangan. Alven menarik pelan-pelan kursi yang berada di hadapan Mutiara, tak ingin mengganggu gadis itu.

Alven memperhatikan paras Mutiara beberapa detik, sampai akhirnya gadis dengan cardigan merah muda serta bandana berwarna senada itu mendongakan wajahnya dan berjengit kaget.

"Astagaa, Bapak ngapain disini?" tanya Mutiara sambil memicingkan matanya kepada Alven.

"Emang Coffe Shop ini  punya buyut kamu?" sindir Alven memandangi gadis yang sedang berkutat dengan laptop.

Mutiara menoleh, lalu tersenyum sinis. "Kalau iya emang kenapa?" tantangnya pada Alven. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru Coffe Shop. "Nah tuh, disana ada yang kosong, Pak Alven kesana aja sana,"

Alven mengerjap kemudian menaikkan salah satu alisnya.
"Kalau saya gak mau?"

"Ya saya paksa lah! lagian Bapak seenak jidat banget duduk disini, ini tuh tempat buat temen-temen saya tau gak Pak," kata Mutiara sambil mencebikkan bibirnya kesal. Tak sadar Alven sedang menahan tersenyum geli.

"Mana temen kamu? saya gak liat." Alven pura-pura mengedarkan pandangannya mencari keberadaan teman-teman Mutiara.

Mutiara mendengus kesal, sembari menyuapkan sepotong croissant cokelat ke dalam mulutnya. "Ya kan belum dateng,"

Alven manggut-manggut, ia menyeruput kopi susu yang ia pesan tadi. Kedua tangan kekar Alven ia tumpukan untuk memperhatikan gerak-gerik Mutiara yang sangat serius menatap layar laptop, entah mengerjakan tugas apa, Alven tidak mengetahuinya.

"Saya tau saya cantik, gak usah diliatin kaya gitu." kata Mutiara dengan asal.

Alven terkekeh pelan. "Percaya Diri memang sangat bagus, tapi jika terlalu berlebihan juga gak baik."

I Love You, Mas Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang