. bab xi : retak

800 100 0
                                    

Sanggrada berjalan pelan ditengah lorong kastil. Hari ini cukup sepi mengingat banyak pelayan yang kembali ke desa atas perintah sang bunda.

Sanggrada menatap sebuah pintu dihadapannya. Dulu ruangan itu adalah ruangan sang bunda dan ayahnya sebelum hubungan keduanya merenggang.

Sanggrada membuka pintu itu dan menemukan sang ayah terdiam di kursi kebesarannya. Sanggrada mengerti kenapa situasi ruangan ini sangat mencekam. Lihatlah aura alpha ayahnya yang sangat suram itu.

"Tumben sekali berkunjung kemari?"

Sanggrada mendudukkan dirinya pada sofa ruangan lalu mengeluarkan sekotak obat dari saku nya.

"Titipan dari bunda."

Sanggrada beranjak dan meninggalkan ruangan tanpa menoleh pada sang ayah dibelakangnya.

"Baiklah aku lelah melihat keributan ini selama bertahun tahun. Kenapa si tua bangka itu tidak mau bicara lebih dulu soal kebenarannya?"

Sanggrada memijat pelipisnya pelan. Dia berada diruangan minjiro bersama yusangga juga. Ketiganya bahkan sangat pusing memikirkan ini sejak mereka remaja.

"Jika kau ingat sesibuk apa si tua bangka itu sampai komunikasi saja seperti tidak pernah terjadi diantara keduanya"

Sanggrada menatap yusangga. Ada benarnya juga, ayahnya tidak pernah pulang dan bunda nya lebih sering menyibukkan diri.

"Kurasa kita harus melakukan sesuatu"

Sanggrada menatap kearah bulan purnama. Malam ini hujan cukup deras dan hawa dingin mulai menusuk kulit. Namun itu tidak berlaku untuk seorang sanggrada yang sekarang tengah berdiri di balkon kamarnya dengan secangkir kopi hangat.

"Hah...sampai kapan tua bangka itu akan terus menerus menghindar."

Sanggrada menatap ruangan kastil di sebrang kamarnya. Disanalah kamar sang bunda. Masih nampak ramai dan terang. Entah kenapa bundanya masih menyibukan diri sampai selarut ini.

Sejak sang ayah datang, bundanya menjadi lebih sering menyibukkan diri didalam ruangannya dan jarang mengunjungi ruangan ketiga putranya karna harus melewati ruangan alpha tertinggi itu.

"Kuharap kepulangan ayah kali ini akan memperbaiki semua keretakan yang ada. Dan semoga bunda bisa tersenyum lepas lagi seperti biasanya"

Jam menunjukan pukul 3 pagi. Sanggrada menengok kearah jendela. Kamar sang bunda masih sangat terang yang tandanya sang bunda masih terbangun hingga sekarang. Sanggrada memutuskan pergi ke ruangan sang bunda setelah meminta izin pada wooyanagra disebelahnya.

Lorong sepi dan hanya ada beberapa pelayan didekat ruangan sang bunda. Biasanya ruangan ini paling ramai kenapa mendadak sepi seperti ini. Indra penciuman nya menajam dan mencium aroma kopi yang cukup kuat. Ini aroma ayahnya.

"Alpha vriel ada disini?"

Pelayan itu mengangguk pelan.

"Alpha vriel ada disini sejak jam 1 tadi tuan. Maka dari itu tuan gabriel meminta kami mengurangi pelayan disini hingga alpha vriel kembali ke ruangan nya."

Sanggrada menatap pintu kamar sang bunda dengan senyuman tipis. Orang tuanya itu sama-sama memiliki ego tinggi sampai menahan rasa rindu selama belasan tahun. Tapi sepertinya sanggrada tidak perlu lagi cemas tentang itu. Karna aroma kopi yang bercampur mawar ini sudah menunjukan kegiatan apa yang sedang terjadi didalam sana.

"Ingatkan aku untuk membawa buruan daging rusa pada ayah besok pagi."

Sanggrada kembali melangkah ke ruangan nya. Meninggalkan area ruangan dengan aroma memabukan khas dari luapan rasa rindu dan cinta.

Saat sanggrada kembali kekamar ternyata anak-anaknya sudah ada disana dan ya, sofa nya terlihat cukup berantakan dengan bekas cakaran karya para werewolf kecil dikamarnya itu.

"Aku baru datang dan sofa ku sudah berubah wujud. Kelakuan siapa lagi kali ini?"

Sanggrada menatap kedua anaknya yang juga sedang menatapnya dengan puppy eyes. Matanya sempat melirik sang istri namun tidak mendapat jawaban.

Sanggrada mendudukkan dirinya dimeja kerja lalu menatap sofa itu dengan tatapan miris. Kedua anaknya masih setia menatapnya dengan tatapan yang sama.

"Hahh...kalian tau kan jika ada anak nakal makan tidak ada cemilan da-"

"Kak junius yang mencakarnya!"

"Aku hanya mencakar sedikit tapi kamu menyenggolku!"

"Mengaku saja kak nanti kita tidak dapat cemilan daging."

"Tapi kamu juga salah sudah menyenggolku jadi kita harus dihukum berdua dong."

"Sudah sudah ya..."

"NOU PAPA!"

Baiklah sanggrada pasrah kali ini...

. sempiternal - sanwoo//woosan ; endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang