Entah sudah berapa pesan yang Jeno kirimkan tapi Dhera tetap saja tak perduli. Ia benar-benar menikmati waktunya dengan Renjun.
" Kenapa dimatiin?" Tanya Renjun yang melihat Dhera menonaktifkan ponselnya.
" Lagi gak pengen di ganggu aja."
" Kalau ayah kamu nelfon gimana?"
" Bilang aja batre abis. Selesai."
" Aku tau ayah kamu orangnya keras tapi bohongin orang tua itu gak boleh."
" Sayangnya kamu juga boong kan biar bisa jalan sama aku?"
" Aku ijinnya kan pergi bareng abdul, emang bener kan aku pergi bareng abdul buat ketemu kamu."
" Tujuan aslinya di sembunyiin baerarti itu sama aja boong Renjun ganteng."
" Emang aku ganteng?"
" Coba lepas kaca matanya."
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
" Kalau begini aja ganteng gak?" Renjun menyisir sambutnya ke belakang.
" Cukup."
" Kenapa?"
" Jantung gue tremor Jun."
Tawa Renjun pecah, " Lebay."
" Jun, kamu kan pinter."
" Kamu juga pinter Dher, kalau kamu bego gak akan aku jadiin pacar."
" Serius ih, aku mau nanya sesuatu."
" Tanya aja."
" Kamu pernah gak sih ngerasa kaya ada sesuatu yang hilang, tapi kamu gak tau itu apa."
" Sesuatu yang kamu maksut itu apa? Benda? Atau memori?"
" Memori, kaya aku ngerasa sering banget dejavu."
" Normal Dher. Semua orang pasti pernah ngerasain dejavu."
" Normal?"
" Ya normal lah."
Dhera mengangguk mengerti, " Kita mau kemana lagi?"
" Aku anter balik aja ya, udah gelap."
" Yaudah gapapa dari pada kamu kena marah juga."
Renjun dan Dhera kembali menggunakan bus kota dan turun di halte dekat dengan daerah rumah Dhera. Bahkan ini pertama kalinya Renjun mengantar gadis itu sampai di depan rumahnya.
" Belajar yang bener, jangan suka bengong." Ucap Renjun.
" Balik gih."
" Ayah kamu masih belum ngabarin?"
" Dia gak akan ngabarin sampai urusannya selesai."
