19. Kejutan Semesta

18 8 30
                                    

“Kupastikan hanya kamu. Tidak ada yang lain lagi.”

***

 
Hari Rabu, hari yang paling menyebalkan baginya. Entah bagaimana, hari itu selalu menjadi jadwal Arcelia untuk kelas olahraga. Bukan hanya setahun-dua tahun, tapi dua belas tahun. Terdengar aneh? Memang benar-benar aneh. Arcelia saja tidak tahu mengapa bisa begitu.

Oh ya, kemarin kebetulan Arcelia pergi berbelanja kebutuhan rumah. Langit sudah gelap sejak dia masuk ke dalam bus untuk pulang. Benar saja, beberapa langkah setelah kakinya beranjak dari halte, hujan turun begitu derasnya. Saking gelapnya sore itu, Arcelia tidak yakin untuk menunggunya reda. Jadilah ia trabas hujan itu, berjalan ke rumah hingga basah kuyup.

Tentu tidak akan menjadi masalah kalau badannya baik-baik saja. Masalahnya, dua hari sebelum itu, keningnya sudah panas. Termometer juga tidak menunjukkan ambang temperatur normal.

Nah, seperti sekarang. Kaus olahraganya sudah lembab akibat keringat, cacing di perutnya juga menari-nari minta diberi makan. Meski hari ini kesiangan, baginya tidak ada alasan untuk meliburkan diri.

“HALLO EPRIBADEH! Gimana kabarnyaa? Harus selalu ceria ya, kayak guee! Eh btw! Udah pada ngelike tiktok gue kan? Lah iya lah video yang terbaru! Ah ga seru sih lo dasar!”

Bisa kalian tebak siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan kucing garong. Felis.

“GUD MOWNING ACELL!! Jangan jutek-jutek, nanti lo tambah gemesin!” Sapa gadis itu sambil menoel-noel pipi Arcelia yang sedang terbaring pada lipatan jaketnya.

Arcelia tidak berdecak seperti biasanya, hari ini tangannya hanya menghentikan gerakan Felis tanpa minat.

Felis meletakkan tasnya pada sampiran kursi, menunduk untuk mengintip Arcelia lekat, “Kenapa lo, Bebb?”

Diperhatikan seperti itu, Arcelia menutup mukanya, tenggelam sedalam-dalamnya pada lekukan kain jaket miliknya. Hal itu justru membuat Felis makin penasaran, diusahakan tangannya supaya menyentuh kening Arcelia. Belum sampai pada keningnya, Felis sudah dibuat kaget dengan panas yang merambat di tangannya. Entah sudah berapa derajat suhu cewek itu saat ini.

“Ar! Kenapa sih nggak bilang! Lo mau mati di sini?!”

Sungguh, Arcelia malu sekali. Benar-benar malu. Bukan malu oleh sebab apa, tentu saja satu penjuru kelas bakal mendengar seruan Felis itu. Dan dia tak mau- takut jika orang lain akan memperhatikannya.

“Feeelll-“ lirihnya memohon. Dari nadanya, Felis seharusnya sudah tau jika, beban dari seruannya itu jauh lebih menakutkan daripada sakit fisiknya saat ini.

“Sorry-“ Felis merendahkan suara, “Kita ke UKS aja, ya?”

Membayangkan akan berada di ruangan itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan diberikan petugasnya saja sudah membuat Arcelia menghela napas. “Nggak.”

“Udah sarapan belum lo?”

“Belum.” Katanya singkat. Mungkin jika di dunia nyata bisa ngomong pake bahasa singkatan, perkataannya itu bisa disingkat sebagai blm.

“Udah ah ke UKS aja cepet!”

Ditariknya lagi napas yang berat, “Ntar aja, gue masih bisa idup kok sekarang.”

Belum sempat Felis mendebat perkataannya, bel jam pertama sudah berdentang melalui speaker sekolah. Cowok-cowok sibuk berebut ke lapangan. Sedang yang cewek tetap berjalan ogah-ogahan.

Namun lunglai dan lesu kaum hawa itu tiba-tiba berganti, kala melihat satu kelas dari seberang juga ikut mengenakan pakaian yang sama. Bukan, bukan itu tepatnya. Tapi, cowok-cowok jangkung yang sudah nampak seperti model-model itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EPIPHANYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang