"Lagian lo peduli amat sama pengasuh lo itu, cinlok?" tanya Zina sekenanya.

"Bukan masalah dia pembantu atau apapun itu!" Robin menghela nafas, menurunkan kadar amarahnya. "Walaupun yang lo buat tenggelam itu orang gila. Gue akan tetep selamatin dia Na," jawab Robin dengan nada yang enak di dengar.

Seringkali Robin merasa bingung dengan sifat Zina yang terlewat nakal. Padahal dulu dia tidak seperti ini, mungkin dulu ia memang nakal tapi sekarang kenakalannya sudah lebih parah lagi.

Robin memegang kedua pundak Zahin. "Gimana kalo dia kenapa-napa? terus lo di suruh tanggung jawab? gimana kalo dia nuntut lo? terus lo dipenjara? lo mau di penjara?" tanya Robin beruntun.

Zina menurunkan kedua tangan Robin yang ada di pundaknya. "Pak Briza nggak akan biarin itu terjadi, dia akan selalu menjunjung tinggi harga dirinya sebagai seorang pengusaha dan image ayah yang baik hati, mana bisa liat gue dipenjara. Bahkan jika dia harus bunuh orang, dia bisa dengan mudah lakuin itu," Zina memutar bola matanya. Sepertinya dia terlalu banyak bicara tentang Pak Briza.

"Kayaknya lo khawatir banget sama gue, masih suka?" selidik Zina.

"Lo yang larang gue buat suka sama lo, gue akan usahain itu," kata Robin dengan nada pelan.

"Bagus!" Zina menunjukkan dua jempol dan senyum pepsodent-nya.

Robin memang menyukai Zina dari dulu, tapi Zina tak menyukainya. Justru dia ingin Robin tidak menyukainya karena takut jika hubungan pertemanannya akan terancam. Padahal Robin juga tak bisa mengendalikan perasaannya.

Tapi pendapat Zina juga ada benarnya, bagaimana jika mereka berpacaran dan berakhir perpisahan? setelah itu tak mungkin ada kata pertemanan, bahkan mungkin saling membenci jika mereka tidak berpisah secara baik-baik.

Orang yang bisa berteman dengan mantan pacar adalah orang yang beruntung. Tidak semua bisa melakukan hal itu, bahkan ada yang memilih untuk tidak bertemu lagi dengan mantan hanya karena banyak alasan.

Robin menatap Zahin dengan sendu. "Jangan lakuin kaya gitu lagi ya?" pinta Robin dengan tulus. Dia benar-benar berharap Zina tidak melakukan hal-hal aneh lagi.

"Nggak bisa, gue emang udah kaya gini. Lo jangan contoh gue ya?" pinta Zina tak kalah tulus. Dia juga berharap jika Robin tak melakukan apa yang dia lakukan.

"Hmm," suara Robin terdengar jutek dan tidak ikhlas.

Sebenarnya dia ingin menyuruh Zina minta maaf, tapi ia tak akan mau melakukannya. Seorang Zina meminta maaf? hampir tidak mungkin.

"Gue ke kamar tamu deh, kamar lo udah di pake soalnya," pamit Zina, setelah itu dia langsung pergi tanpa menengok ke arah Robin sekalipun.

Zina memang sering kesini. Kadang pagi, siang, sore ataupun malam. Intinya sesuka hatinya saja. Makanya Robin sering bangun tidur di pagi buta untuk mengecek apakah Zina ada di sini atau tidak.

Dia memang gadis gila, datang-datang langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur tanpa melihat apakah Robin ada di situ atau tidak. Zina akan langsung tiduran walaupun di situ ada Robin, ia sama sekali tidak peduli.

Kalau Zina berada di kamarnya. Robin akan pindah kamar, atau tidur di sofa jika sudah malas berjalan.

Namun jika Zina tak ada ia akan berkutik dengan laptopnya, tapi kalau mood-nya buruk dia akan menganggu tidur Zahin dengan membuat alarm di kamarnya berbunyi.

Dia akan terus membunyikannya hingga pengasuhnya terbangun dan menghampiri dirinya. Setelah itu Robin akan pura-pura tidur, seperti itu terus sampai ia merasa bosan.

~|•|~

Robin ke dapur untuk mengambil teh hangat, tentu saja untuk Zahin. Andai bukan karena Zina, dia tak akan melakukan ini. Robin merasa bersalah kepada Zahin karena ulah temannya. Bisa-bisanya sekarang dia yang menjadi pelayan babunya.

Ia juga malas untuk mencari pembantu, biasanya di setiap ruangan akan ada asisten rumah tangga. Tapi sekarang mereka entah pergi kemana. Jadi ya sudahlah ia memutuskan untuk mengambilnya sendiri, lagipula tidak terlalu jauh dari kamarnya.

"Udah tidur?" tanya Robin setelah sampai di kamarnya.

"Udah," jawab Zahin tanpa membuka mata.

"Udah berani bohong maksutnya?"

"Hehe," Zahin membuka matanya, sebenarnya dia sudah bangun. Kamar ini sangat enak untuk ditiduri, jika bisa request Zahin ingin pindah kamar tidur.

Robin sedikit lega karena Zahin sudah tidak ketakutan lagi, sekarang gadis itu sudah seperti biasanya.

Dia menghampiri Zahin lalu membantunya untuk duduk dengan menaruh bantal di punggungnya, dan memegang kedua pundak Zahin supaya bisa terduduk.

"Minum," perintah Robin.

"Makasih," kata Zahin sambil mencoba mengambil teh hangat itu.

Tapi Robin justru mendekatkan teh itu di bawah mulutnya. Dia melakukannya karena tangan Zahin tremor, dia tak mau kembali lagi ke dapur gara-gara teh ini tumpah.

"Makasih," kata Zahin dengan senyuman.

Robin memalingkan wajahnya "Udah bisa ganti baju?" tanya Robin untuk menghilangkan keheningan diantara mereka.

Zahin mengangguk beberapa kali. "Bisa kok, aku ganti baju dulu ya," pamit Zahin yang sudah bersiap untuk pergi tapi kepalanya tiba-tiba saja pusing.

Robin memegang kedua pundak Zahin saat dia akan terjatuh. "Jangan dipaksa," saran Robin.

Brukh!

***

Cie di gantung:v

Maaf kalo ceritanya kurang menarik
Konfliknya masih lamaaaaa bgt
Jadi ikutin ceritanya sampai selesai ya!

Sampai jumpa di hari Rabu
Insyaallah...

Zahin to RobinWhere stories live. Discover now