Spesial Chapter : Future

1.2K 145 52
                                    

Perempuan itu bergeming. Menatap suasana sawah yang menghampar luas di hadapannya. Malam itu, cahaya yang memancar dari sang bulan menyiram keadaan sekitar. Membuat keadaan di sana semakin sunyi nan damai.

Pandangannya yang semula lurus kini teralih tatkala ia merasa seseorang duduk di sampingnya. Laki-laki itu tersenyum, tangannya terulur untuk memberikan secangkir teh hangat tawar. Ia menerimanya tanpa kata.

"Ngapain sendirian di sini?" Tanya suara berat di sampingnya.

Perempuan itu menoleh, tersenyum masam. Meminum tehnya sesaat sebelum melontarkan kalimat ungkapan yang membuatnya gundah.

"Aku lagi mikir gimana caranya agar bisa menggapai surga disaat aku masih berlumur dosa."

"Tuhan bahkan selalu membuka lebar pintu maaf-Nya, kenapa kamu skeptis?"

"Bukan skeptis, mungkin.. realistis?"

"Kamu ragu Tuhan gak akan maafin kamu?"

Ia mengangguk, kembali menatap hamparan sawah yang luas di hadapannya. Angin malam di sana menerpa wajahnya sesaat, membiarkan paru-paru yang pernah ia bakar kembali terisi oleh udara bersih.

"Kenapa kamu ragu disaat aku udah yakin?"

"Hah?!"

"Kamu cuma perlu dibimbing, dituntun, oleh seseorang yang sabar akan sikap kamu."

Wafda memutar tubuhnya agar menghadap Chairil sepenuhnya. Binar mata perempuan itu kembali terpancar jelas, tanda bahwa ia tertarik dengan topik pembicaraan mereka. "Contohnya siapa?"

"Ya, akulah!" Jawab Chairil mantap.

Wafda menanggapinya dengan senyum tipis. Kemudian kembali menghadapkan diri ke tempat semula. Matanya menerawang dengan pikiran yang melayang. Menerka-nerka perihal kehidupan yang jalannya sudah dituliskan oleh takdir Tuhan.

Melihat sang istri sedang dalam keadaan yang tidak biasa, Chairil pun ikut menerka. Kira-kira apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya. Alih-alih bertanya, tangan Chairil yang semula diam itu kini mengambil gelas Wafda. Meletakkannya di meja. Kemudian membawa kepala Wafda untuk bersandar di bahunya.

Wafda tidak menolak pun tidak bicara.

Perempuan itu hanya terus bergeming. Napasnya bergerak teratur meski terembus berat. Seolah sedang memikirkan sesuatu yang sulit untuk ia pecahkan seorang diri.

Kembali. Tangan kiri Chairil mengambil tangan kanan Wafda. Ikut menggenggamnya untuk menghadirkan suasana yang lebih hangat di antara mereka.

"Ril.." Lirih Wafda pelan.

"Ya, Waf?"

"Maaf ya, kalo aku nggak sempurna." Wafda mengeratkan kaitan tangan mereka sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Maaf, kalo terkadang aku banyak nuntut kamu. Maaf, kalo kadang aku nyebelin, suka marah-marah, dan suka misuh-misuh kalo muroja'ah kita dilakuin terlalu lama. Maaf kalo aku penginnya dingertiin terus. Maaf, kalo kadang aku suka males masak dengan dalih capek. Padahal capek-an kamu kemana-mana. Maaf, kalo kadang emosiku sering gak stabil. Aku cuma gak suka mendem semuanya, bikin batin. Maaf, kalo mungkin aku belum bisa jadi istri yang kamu impikan. But I will still try my best in the future."

"Jangan pernah capek buat tuntun aku, Ril. Cause I need you for the rest of my life, and beyond." Tutup Wafda.

Chairil mengerti arti dari kalimat yang Wafda utarakan barusan. Kalimat panjang yang terdiri atas ungkapan dan juga harapan. Tersirat nada khawatir yang ikut mengiring.

"Kamu.. keliatannya masih ragu sama aku ya, Waf?"

Wafda menggeleng. Mana mungkin ia ragu disaat Chairil selalu mengungkapkan perasaannya setiap saat. Meskipun hanya kalimat, namun hal tersebut sangat berarti bagi Wafda. Dengan begitu, ia tidak perlu khawatir akan keyakinannya terhadap Chairil.

AbditoryWhere stories live. Discover now