6. Tempo

595 133 14
                                    

"Mau ikut gue ga?"

Sudah beberapa hari ini, Ben kerap pergi dari rumah sejak pagi dan baru pulang saat menjelang petang. Sekembali dari tujuan, pakaian yang dikenakan olehnya sudah tidak berwarna karena penuh oleh noda lumpur.

Wafda yang sedang membantu Umi memotong bawang putih itu menghentikan kegiatannya sesaat, menoleh.

"Ke mana?"

"Sawah, ngegebot padi."

"Atuh ulah, si Wafda pan awewe. Karunya, bisi hideung." Sambar Umi yang baru datang sembari membawa baskom berisi potongan rebung. (Ya jangan. Wafda kan perempuan, kasian, takut item.)

"Ih, lebay si Umi mah."

"Lain lebay jang, awewe mah pan kudu kinclong beh laku." (Bukan lebay, cewek mah kan harus kinclong biar laku.)

Wafda tersenyum, "Udah laku kok mi."

Melihat senyuman yang terpatri di wajah Wafda begitu tulus, Ben tidak bisa menyangkal kalau ia juga ikut bahagia. Namun, tidak lama setelah pernyataan Wafda barusan, jiwa mengejek Ben justru bangkit.

"Emang ada yang mau sama lu?"

Wafda mendelik, "Ya ada lah. Ga kayak lu, bujangan tuwir."

"Heh songong sia ka aing!"

Wafda menjulurkan lidahnya. Lalu berlari di balik tubuh Umi, mengambil antisipasi perlindungan dini. Ben menatap Wafda sembari berkacak pinggang.

"Jadi mao ikut ga? Kalo kaga gue jalan sendiri."

Wanita itu berpikir, menimang sesaat sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Boleh deh."

"Neng, kata Ben kamu ga punya celana panjang?" Umi bertanya, karena selama beberapa hari tinggal di sini Wafda terus mengenakan celana yang kekurangan bahan.

Wafda mengusap tengkuknya canggung, lalu menggeleng. Ia mengerti bahwasannya suasana kampung dan kota itu sangat berbeda. Kalau di kota, Wafda acuh memakai celana pendek ke manapun ia pergi. Tapi di kampung, ia hanya duduk di teras saja sudah ditatap heran oleh warga yang lewat.

Ia juga mengerti bahwa seharusnya Wafda lebih sopan dalam berpakaian, tapi, ia 'kan ke sini tanpa adanya rencana yang matang. Semuanya serba dadakan. Jadi, jangan salahkan Wafda jika pakaian yang ia bahwa minim bahan semua.

"Atuh nanti kalo ikut ngegebot takut merah-merah kakinya, sayang mulus gitu. Bentar, umi ambilin celana kulot."

Wafda menatap nanar ke arah Ben, melihatnya, laki-laki itu hanya tertawa puas.

"Nurut aja udeh, omongan Umi ga pernah salah."

Setelah Umi menyerahkan satu celana kulot berwarna hitam, Wafda segera masuk ke dalam kamar untuk mengganti celana. Lalu gadis itu melihat pantulan dirinya di kaca. Terlihat lebih sopan.

Wafda memutar tubuhnya untuk mengambil losion kulit dan menggunakannya pada kedua tangan dan juga leher. Tak lupa, ia juga menggunakan sunscreen pada wajahnya. Kemudian, Wafda keluar.

"Ayo!"

Dari arah dapur, Ben datang sembari menenteng rantang. Melihatnya, Wafda sedikit heran.

"Itu apaan?"

"Bekel, kita nyampe sore. Gapapa 'kan?"

Wafda mengangguk, "Gapapa."

Wafda rela sampai jam berapapun ada di sawah. Karena melihat pemandangan alam merupakan refleksi diri yang paling mudah untuk dilakukan di sini, setidaknya untuk saat ini.

AbditoryWhere stories live. Discover now