7. Fly Away

644 132 46
                                    

Suasana masjid saat bubaran maghrib selalu ramai oleh berbagai manusia dari berbagai jenis kalangan. Keramaian itu juga tercipta dari mulut-mulut yang sudah seperti pemotong rumput, seperti milik Ben dan kawan-kawannya.

Ke sembilan anak adam itu baru saja menyelesaikan kewajiban shalat maghrib di masjid. Usai shalat, mereka tidak langsung pulang seperti pemuda kebanyakan. Mereka memilih untuk bercengkrama dulu di warung yang berada tepat di depan masjid. Mengobrol sampai adzan isya nanti berkumandang.

"Si Wafda masih ada di rumah lu?" Tanya Kaizan yang tengah mengunyah cimplung pisang hangat.

"Kenapa? Demen lo?" Sewot Ben.

Kaizan menggeleng, "Kaga sumpah, mau dibacok gue sama Jeny kalo ampe demen cewek lain."

"Perasaan kemaren bukan Jeny deh, ada lagi." Celetuk Jade.

"Berlian, adeknya Teh Jes." Sahut Bang Umin.

"Ckck Kai-Kai.. cewek lu banyak amat sih, bagi apa si Jajang satu." Decak Juned selaku ketua di antara mereka bersembilan kagum.

Pasalnya, entah sudah keberapa kalinya dalam setahun ini Kaizan yang paling manis itu bergonta-ganti kekasih. Padahal ia sudah diingatkan agar lebih baik segera melepas status lajang daripada terus berganti pacar.

"Lah kenapa jadi gue?" Sahut Jajang tidak terima.

Bang Umin menepuk pundak Jajang seraya berkata, "Karena yang paling tuwir tinggal elu doang."

"Lah itu si Chairil, Ben, Dion, Sean?" Jajang menyebutkan rekan-rekannya yang masih melajang sepertinya.

"Masalahnya bang, elu yang paling tua diantara kita semua." Dion memperjelas dengan raut datarnya.

"Terus kenapa anjir? Emang salah kalo belum nikah?"

"Ya kaga sih, cuma 'kan elu tau sendiri gimana emak lu bang." Celetuk Ben dengan wajah tanpa dosanya.

"Y-ya iya juga sih.."

Obrolan laki-laki itu merambat ke segala penjuru topik. Mulai dari membahas kilas balik masa kecil mereka yang penuh dengan canda tawa. Kemudian berlanjut hingga kenangan kenakalan masa remaja, di mana mereka suka merokok di belakang gedung sekolah. Berakhir dengan hukuman dua kali lipat, dari guru dan juga dari orang tua.

"Gue inget, dulu kita hampir tiap hari ngobak di susukan. Sebelum balik ke rumah, kudu ngider sawah dulu biar baju kering supaya bisa selamat dari jeweran Umi." Cerita Ben sembari memakan bala-balanya.

"Ahahahaha gue juga inget tuh, si Chairil kalo ngobak suka ngerobohin pohon pisang orang biar gedebongnya bisa dijadiin perahu."

"Goblog emang hahaha.."

Chairil yang disebut namanya itu menggarung kepala belakangnya sambil tertawa canggung, "Ya gimana, gue 'kan nebang juga biar si Ben ama Dion kaga tenggelem."

Ben yang tadinya sedang meminum es teh manis itu mendadak menyemburkan minumannya secara reflek.

"Apa-apaan? Gedebongnya lu yang make sendiri ya. Kampret, malah gue yang dijadiin kambing hideung." Protes Ben tidak terima.

Protesan dari mulut kecil Ben itu mengundang tawa dari kawan-kawannya. Perdebatan Ben dan Chairil adalah hal yang sangat biasa kala mereka sudah berkumpul seperti sekarang.

"Ih gue jadi kangen nyari simeut nyampe maghrib siah." Jade tiba-tiba berucap, matanya terpaku memandang atap warung yang kusam tak terawat di atas.

"Enakan tututlah." —Kaizan

"Enakan tumis genjer." —Jajang

"Enakan kepiting." —Juned

"Eweuh dagingna kos kitu ngeunah ti mana mereun." (Gaada dagingnya begitu enak darimana coba)

AbditoryWhere stories live. Discover now