Spesial Chapter : The Eve

826 142 64
                                    

Empat hari menjelang hari raya. Wafda sudah disibukkan dengan kegiatan membersihkan rumah secara ekstra dan merencanakan banyak hal lain. Dengan bantuan Chairil, mereka mulai kembali menata ulang perabot rumah tangga yang tidak terlalu banyak itu agar terlihat semakin rapi.

"Kamu gak mau ke pusat perbelanjaan? Ini rumah udah selesai kok, kita juga belum belanja buat masak." Ujar Chairil membuat kegiatan Wafda terhenti.

"Nanti kamu yang ke pasarnya, ya? Aku enek ngebayangin bau daging."

Chairil tertawa kemudian mengangguk, tangan laki-laki mengusak lembut rambut Wafda yang masih sama panjang seperti dulu.

Chairil menuntun Wafda untuk duduk di sofa. Mereka sudah selesai dengan kegiatan membersihkan rumah. Dan kini waktunya untuk bersantai.

Dahi Wafda dibuat mengernyit saat kedua kakinya diangkat ke atas paha Chairil. "Ngapain?"

"Mijitin kaki kamu."

"Aku gak bisa disogok ya!"

Chairil kembali tertawa. Sembari memijit kaki Wafda, matanya sesekali melirik ke arah sang istri. Mata perempuan itu terlihat sayu karena kekurangan jam tidur. Belum lagi ia harus menyiapkan makanan untuk sahur, berbuka, dan melakukan banyak pekerjaan seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Itupun ia lalui dengan drama mual karena kehamilannya yang baru berusia sebiji jagung.

Chairil akan terlihat sangat bodoh apabila dia menyia-nyiakan Wafda. Karena tidak akan ada sosok Wafda yang lain. Wujud Wafda hanya satu di matanya. Wafdanya yang hebat.

Laki-laki itu menyudahi kegiatan memijit kaki sang istri. Kemudian berganti dengan menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan Wafda. Memeluk pinggang Wafda erat seraya menyembunyikan wajahnya di perut istrinya.

Wafda menahan napasnya sesaat karena perilaku Chairil yang tiba-tiba.

"Napasnya jangan ditahan, Waf." Gumam Chairil membuat Wafda mengembuskan napas tertahannya. Ia menarik pelan telinga Chairil, membuat si empunya mengaduh.

"Lagian kamu ngapain tiba-tiba manja begini? Aneh." Ujar Wafda, namun tak merasa terganggu dengan situasi mereka sekarang.

Chairil menengadah, menatap wajah Wafda dari bawah dengan bibir yang mencuat. "Jangan galak-galak dong sama suaminya."

"Gakpapa, halal kok galak ke suami yang nyebelin."

"Aku harus gimana lagi agar bisa dapat permintaan maaf dari yang mulia istri? Haruskah aku mengirim satu truk bunga tulip segar dari Belanda langsung untukmu?" Ujar Chairil dengan suara dramatis.

Wafda awalnya mendelik heran. Tak lama kemudian meledakkan tawanya. Melihat bagaimana anehnya ekspresi Chairil sekarang, tangan perempuan itu lantas menarik bibir sang suami yang sedari tadi mengerucut.

"Gak usah sok imut, gak cocok sama suara dan badan!"

"Iya, orang aku cocoknya sama kamu doang kok."

Tidak ada sahutan dari Wafda. Perempuan itu kini malah asyik memainkan hidung mancung suaminya.

"Upil kamu kok banyak gini gak dibersihin sih?" Ujar Wafda mulai mengorek lubang hidung Chairil dengan kuku kelingkingnya.

"Males, orang biasanya juga kamu yang bersihin."

"Ya ngomong aturan kamu ngomong dong, kalo upilnya udah banyak begini 'kan jadi kering."

Chairil tertawa, "Gakpapa, numpuk upil bak numpuk emas di dalam goa."

"Joroknya suamiku~"

"Gak gitu juga maksudnya, Waf.."

AbditoryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora