1. UNknown Village

1.7K 189 21
                                    

"Tumben ayah yang bawa mobil, biasanya nyuruh supir."

Ini aneh.

Selama ini ayahnya tidak pernah bisa berkendara saat keluarga mereka harus ke Bandung. Jadi harus supir yang mengemudi, karena sepanjang jalan Ayah Wafda akan sibuk dengan ponsel dan juga iPad.

Ibu Wafda juga tidak beda jauh. Setiap duduk di kursi penumpang bersama Wafda, kedua telinga gadis itu harus siap mendengarkan segala macam argumen dari mulut ibunya yang sibuk bertelepon.

Alhasil, Wafda yang masih sayang telinga itu akhirnya menghabiskan waktu perjalanan dengan mendengarkan lagu. Agar telinganya selamat.

Sejujurnya, Wafda jarang berkomunikasi tatap muka dengan kedua orang tuanya seperti sekarang. Karena kesibukan kedua orangtuanya, frekuensi pertemuan keluarga mereka tidak seperti keluarga pada umumnya.

Jadi sekalinya bertemu, ya seperti ini. Kedua orang tuanya itu akan tetap lebih banyak menghabiskan waktu dengan ponsel alih-alih bersama Wafda.

"Pak Jaya udah pensiun." Jawab Ayah di depan.

"Harus banget hari ini ke Bandungnya?" Tanya Wafda, menatap punggung orang tuanya.

"Iya, besok kami ada flight siang."

Wafda menghela napas sarkas, tersenyum miring. "Kalian kapan ga sibuknya." Cibir Wafda.

Ibu Wafda menoleh ke belakang, menatap Wafda dengan lekat. "Kami juga sibuk buat kamu."

Wafda tidak menjawab. Sudah malas berdebat. Kalau kata guru agamanya dulu: menjawab omongan orang tua saja sudah dosa, apalagi kalo sampai berdebat, mau sebanyak apa tumpukan dosa Wafda ke depannya?

Omong-omong, tadi ibunya menyeletuk apa?

"Kami sibuk juga buat kamu," katanya?

Wafda memalingkan wajah ke arah jalanan, tersenyum miris dengan pernyataan yang barusan terlempar dari mulut sang Ibu.

Percuma sibuk untuk Wafda kalau Wafdanya sendiri tidak bahagia. Bukan Wafda tidak menerima, tapi memang apa lagi sih yang di cari?

Toh, harta tidak bisa di bawa mati.

Jadi, daripada mati ditelan sepi, akhirnya Wafda mencari kebahagiaannya sendiri. Sayangnya setelah berjalan menyusuri Ibukota seorang diri, Wafda justru tersesat di jalan yang salah.

Tapi setidaknya, ia berhasil menemukan bahagianya.

Wafda sudah bertemu dengan seseorang yang ia anggap sebagai sumber kekuatan dan bahagianya untuk saat ini.

Orang yang saat ini sedang beradu balasan pesan dengannya. Jaelani Haris Pradipta, laki-laki yang menyandang status sebagai pacar Wafda dua tahun belakangan.

Melihat balasan terakhir dari Jae, tanpa sadar Wafda terkekeh. Tapi begitu suara ibunya terdengar, mendadak tawa Wafda terhenti.

Sebuah pertanyaan sensitif bagi Wafda terlontar dari mulut sang Ibu.

"Kamu masih pacaran sama si Jae itu, Waf?"

"Masih."

"Kapan mau diputusin?"

Wafda menatap jengah kedua orang tuanya, "Pertanyaannya bisa diganti ga? Misalnya jadi: Kapan dia mau nikahin kamu? Kan lebih enak didenger."

"Kalo yang itu, kamu udah tau jawabannya. Ibu dan ayah ga mungkin ngasih restu sama kalian."

"Aku ga butuh restu kalian, kok."

Ibunya menoleh ke belakang dengan tatapan marah, wajah wanita paruh baya itu memerah padam, kedua bola matanya membulat menatap Wafda tajam.

"Maksud kamu apa? Kami ini masih orang tua kamu! Nikah itu wajib pakai restu, dan restu itu cuma bisa didapat dari orang tua!" Ibu Wafda mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan bicaranya.

AbditoryWhere stories live. Discover now